Mohon tunggu...
Yulius Maran
Yulius Maran Mohon Tunggu... Educational Coach

- Gutta Cavat Lapidem Non Vi Sed Saepe Cadendo -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Jebakan Nostalgia: Guru yang Sulit Move On

2 September 2025   07:35 Diperbarui: 2 September 2025   16:25 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar diambil dari Freepik

Dibutuhkan keberanian untuk berkata, "Saya memang perlu belajar lagi." Kalimat sederhana ini tidak merendahkan martabat guru senior. Justru sebaliknya, ia menumbuhkan wibawa sejati: wibawa yang lahir dari kerendahan hati dan kesediaan untuk bertumbuh. Inilah kualitas yang akan dikenang oleh generasi muda.

Menjadi Guru Sejati

Seorang guru sejati tidak diukur dari seberapa keras ia bersuara di ruang guru, melainkan dari seberapa besar pengaruh positif yang diwariskan kepada murid-muridnya. Guru sejati sadar bahwa generasi berganti, kurikulum berubah, tetapi nilai-nilai keutamaan seperti integritas, ketekunan, dan kasih sayang tidak pernah usang.

Bagi guru senior, move on bukan sekadar pilihan, melainkan panggilan. Panggilan untuk mengakui bahwa dunia berubah, dan mereka pun dipanggil untuk berubah bersama. Bagi guru muda, tantangannya adalah belajar memilah: mendengarkan dengan hormat, tetapi tidak terjebak dalam pola pikir yang menghambat.

Jika dua generasi guru ini bisa saling melengkapi, maka sekolah akan menemukan irama baru: warisan masa lalu yang bijak berpadu dengan semangat pembaruan. Inilah simfoni sejati pendidikan---sebuah harmoni yang lahir bukan dari perlawanan, melainkan dari keterbukaan untuk bertumbuh bersama.

Catatan Reflektif

Pada akhirnya, dunia pendidikan bukanlah panggung nostalgia, tetapi ruang di mana masa lalu, masa kini, dan masa depan bertemu. Guru senior dengan pengalaman panjangnya dan guru muda dengan energi segarnya sama-sama dibutuhkan.

Namun, agar harmoni tercapai, diperlukan kesadaran bahwa masa lalu tidak boleh dijadikan kitab absolut, dan perubahan bukanlah ancaman, melainkan kesempatan untuk bertumbuh.

Dengan kesadaran itu, guru senior bisa menerima diri dengan lebih lapang, guru muda bisa berdiri teguh tanpa kehilangan rasa hormat, dan sekolah pun bergerak maju tanpa terbebani bayang-bayang nostalgia. Karena pada akhirnya, mendidik adalah soal membentuk masa depan, bukan sekadar merawat masa lalu.

Lalu, bagaimana dengan kita sendiri? Apakah kita sebagai guru berani mengakui bahwa dunia sudah berubah dan kita pun perlu berubah? Apakah kita cukup rendah hati untuk belajar hal-hal baru, meski usia dan pengalaman kita sudah panjang? Apakah kita mau memilih menjadi jembatan antar generasi, bukan tembok pemisah? Dan yang lebih penting, apakah kita sungguh menghadirkan teladan yang akan dikenang murid-murid kita---bukan karena kerasnya suara kita di ruang guru, melainkan karena kebijaksanaan kita dalam menapaki perubahan?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun