Mohon tunggu...
Yulius Maran
Yulius Maran Mohon Tunggu... Educational Coach

- Gutta Cavat Lapidem Non Vi Sed Saepe Cadendo -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ketika "Pembelajaran Mendalam" Menggeser Jejak Kurikulum Merdeka

16 Agustus 2025   06:50 Diperbarui: 16 Agustus 2025   10:10 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara teoritis, kurikulum adalah "program kegiatan yang dirancang agar siswa mencapai tujuan pembelajaran tertentu melalui isi dan metode yang dipilih" (Hirst, 1974, hlm. 3). Dalam pengertian ini, Pembelajaran Mendalam (Deep Learning) seharusnya ditempatkan sebagai metode atau pendekatan, bukan sebagai kurikulum baru. Namun, di Indonesia, perbedaan antara approach dan curriculum kerap kabur.

Ketika istilah Pembelajaran Mendalam diulang-ulang dalam pidato dan kebijakan publik, ia perlahan dipersepsikan publik dan guru sebagai kebijakan kurikulum pengganti Kurikulum Merdeka. Padahal, secara legal, Kurikulum Merdeka belum dihapuskan. Fenomena ini mengingatkan pada kritik Stenhouse bahwa "pendekatan tanpa tujuan eksplisit cenderung gagal memandu praktik secara konsisten" (1975, hlm. 85).

Jika tujuan tidak dijabarkan dalam dokumen resmi, guru dan sekolah berisiko membuat interpretasi yang berbeda-beda. Akibatnya, proses belajar mengajar bisa berjalan tanpa keseragaman arah, yang pada gilirannya memperlebar jurang capaian pendidikan antarwilayah.

Di sinilah letak pentingnya membedakan antara "pendekatan" dan "kurikulum". Pembelajaran Mendalam tidak akan efektif jika tidak dibingkai dalam struktur kurikulum yang jelas, lengkap dengan tujuan, isi, dan metode yang terukur (Bloom et al., 1956, hlm. 12).

Implementasi di Lapangan: Antara Idealisme dan Realitas

Guru adalah ujung tombak keberhasilan implementasi kebijakan pendidikan. Sayangnya, dalam praktiknya, guru kerap dibebani peran ganda: menguasai pendekatan baru dan sekaligus memenuhi tuntutan administratif yang rumit. Di daerah 3T, kondisi ini diperburuk oleh minimnya fasilitas teknologi dan pelatihan berkelanjutan.

Sebagaimana diingatkan Hirst, "tidak ada kurikulum yang rasional tanpa tujuan yang jelas, isi yang relevan, dan metode yang tepat" (1974, hlm. 2). Ketika pendekatan baru diperkenalkan tanpa panduan operasional yang memadai, guru dipaksa mengimprovisasi dengan sumber daya terbatas.

Beban administratif seperti penyusunan modul ajar, asesmen diagnostik, dan laporan proyek profil pelajar Pancasila menyita waktu guru dari aktivitas inti mengajar. Di sisi lain, tuntutan menerapkan pembelajaran berbasis proyek membutuhkan kreativitas, kolaborasi, dan fasilitas yang tidak selalu tersedia.

Dalam situasi ini, Pembelajaran Mendalam berpotensi berubah menjadi jargon yang sulit dijalankan. Guru, yang seharusnya menjadi agen perubahan, justru terjebak dalam tekanan administratif dan kebingungan arah kebijakan.

Hilangnya Identitas Kurikulum Merdeka

Salah satu implikasi yang paling terasa adalah menghilangnya penyebutan Kurikulum Merdeka dalam diskursus publik. Ketika Pembelajaran Mendalam mendapat sorotan penuh, Kurikulum Merdeka seolah menjadi kurikulum lama yang sudah usang, meskipun secara hukum masih berlaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun