Mohon tunggu...
Mang Pram
Mang Pram Mohon Tunggu... Rahmatullah Safrai

Founder Sekumpul EduCreative dan Penulis Buku

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Tambang Semakin Ugal-ugalan di Pulo Ampel: Efek Jakbar Menutup, Banten Melongo?

6 Oktober 2025   13:42 Diperbarui: 6 Oktober 2025   13:42 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari hasil penelusuran, material tambang dari kawasan ini sebagian besar dikirim ke proyek-proyek besar di Jabodetabek, seperti beton, jalan tol, perumahan, hingga kawasan industri. Ironisnya, Banten menanggung rusaknya bukit dan jalan, sementara manfaat ekonominya lebih banyak mengalir keluar daerah.

"Ini seperti pembangunan rumah orang lain dengan merusak rumah sendiri," kata seorang mahasiswa yang tinggal di Bojonegara. Ia menambahkan, tambang-tambang di Bojonegara dan Pulo Ampel diduga banyak yang tidak memiliki izin lengkap atau memperluas area galian melampaui batas. Namun, pengawasan dari pemerintah Provinsi Banten nyaris tak terdengar.

"Gubernur Jawa Barat berani menutup tambang karena sadar dampak ekologinya. Tapi di Banten, seolah semuanya dibiarkan berjalan tanpa arah," ujarnya.

Hingga kini, belum ada langkah konkret dari Gubernur Banten maupun Bupati Serang untuk mengatasi kemacetan maupun maraknya tambang yang menghabisi perbukitan. Tidak ada operasi gabungan besar, tidak ada penertiban truk-truk yang melanggar batas tonase, tidak ada audit lingkungan yang transparan.

Di satu sisi, Gubernur Jawa Barat menutup tambang Parung Panjang dengan alasan kerusakan lingkungan dan keseimbangan tata ruang. Di sisi lain, Banten tampak menampung limpahan masalah itu tanpa kebijakan yang jelas. Seolah menjadi halaman belakang pembangunan wilayah Jabodetabek.

Padahal, efek domino dari pembiaran ini sudah terasa: jalan hancur, udara berdebu, sumber air mengering, dan warga hidup di bawah bayang-bayang longsor.

Sore menjelang malam, ketika saya meninggalkan Pulo Ampel, deru mesin truk masih terdengar di kejauhan. Lampu-lampu sorot alat berat menyalak di lereng bukit, menandai giliran kerja malam. Debu kembali beterbangan, menutupi pemandangan laut di ufuk barat.

Di antara raungan mesin itu, saya teringat kalimat seorang warga tua yang saya temui di warung kecil dekat tambang, "Kalau gunung sudah habis, apa yang tersisa buat anak cucu kita?"

Pertanyaan itu menggantung, seperti gema yang menampar nurani siapa saja yang pernah melihat bukit-bukit Banten berdarah debu.

Nantinya, tersisa bukan lagi gunung, bukan lagi jalan yang lapang, hanya kesunyian di antara truk-truk yang terus melintas, dan pemerintah yang terus diam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun