Mohon tunggu...
Mang Pram
Mang Pram Mohon Tunggu... Rahmatullah Safrai

Founder Sekumpul EduCreative dan Penulis Buku

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Tambang Semakin Ugal-ugalan di Pulo Ampel: Efek Jakbar Menutup, Banten Melongo?

6 Oktober 2025   13:42 Diperbarui: 6 Oktober 2025   13:42 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kondisi tambang galian c di perbukitan Pulo Ampel, tampak abu-abu karena debu dan minim tanaman hijau (foto pram)

Pagi itu, matahari belum tinggi ketika saya berhenti di tepi jalan Pulo Ampel, Kabupaten Serang. Suara mesin diesel meraung, bercampur debu tebal yang menyesak napas. Di depan mata, truk-truk besar berwarna kusam berderet panjang, merayap pelan menuju arah Pulo Ampel.

Beberapa sopir turun, merokok sambil mengeluh soal antrean panjang yang tak kunjung bergerak. Plat nomor kendaraan mereka sebagian besar bukan dari Banten--ada "B", ada "F", ada "Z"--menandakan arus baru dari luar daerah telah datang.

"Dari Bogor, Bang," kata seorang sopir truk dengan suara berat. "Tambang di sana ditutup, jadi muatan sekarang diambil dari sini," kata seorang sopir di tengah kemacetan.

Pernyataannya sederhana, tapi membuka tabir persoalan yang lebih besar, setelah Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menutup sejumlah tambang galian C di Parung Panjang, aktivitas tambang beralih ke wilayah Bojonegara dan Pulo Ampel, Kabupaten Serang.

Pergeseran ini seolah mengalir tanpa kendali. Aktifitas pertambangan galian C semakin meningkat dan beroprasi nonstop,  membawa serta truk-truk bertonase berat dan kerakusan yang menggali perbukitan tanpa ampun.

Di beberapa bukit Pulo Ampel, lapisan tanah tampak menganga, alam yang dulu hijau kini menjelma tebing botak. Di lerengnya, truk-truk naik-turun membawa material tanah dan batu, siang dan malam tanpa jeda.

"Sekarang 24 jam kerja. Nggak ada berhenti," ujar seorang warga yang rumahnya hanya berjarak beberapa ratus meter dari lokasi tambang. Ia menunjuk bukit yang kini setengah tinggi aslinya.

"Kalau malam, suara alat berat itu sampai bikin anak saya susah tidur."

Aktivitas galian C yang ugal-ugalan ini bukan hanya soal kerusakan alam, tapi juga soal keselamatan warga. Jalan utama Bojonegara--Pulo Ampel kini nyaris tak pernah sepi dari truk. Jalan beton berlubang, marka jalan hilang tertutup debu, dan sepeda motor terpaksa menepi menunggu truk-truk raksasa lewat.

Di simpang menuju Gerbang Tol Cilegon Barat, kemacetan menjadi rutinitas. "Kami yang tiap hari lewat sini rasanya seperti hidup di tambang berjalan," kata seorang pengendara ojek online.

Dari hasil penelusuran, material tambang dari kawasan ini sebagian besar dikirim ke proyek-proyek besar di Jabodetabek, seperti beton, jalan tol, perumahan, hingga kawasan industri. Ironisnya, Banten menanggung rusaknya bukit dan jalan, sementara manfaat ekonominya lebih banyak mengalir keluar daerah.

"Ini seperti pembangunan rumah orang lain dengan merusak rumah sendiri," kata seorang mahasiswa yang tinggal di Bojonegara. Ia menambahkan, tambang-tambang di Bojonegara dan Pulo Ampel diduga banyak yang tidak memiliki izin lengkap atau memperluas area galian melampaui batas. Namun, pengawasan dari pemerintah Provinsi Banten nyaris tak terdengar.

"Gubernur Jawa Barat berani menutup tambang karena sadar dampak ekologinya. Tapi di Banten, seolah semuanya dibiarkan berjalan tanpa arah," ujarnya.

Hingga kini, belum ada langkah konkret dari Gubernur Banten maupun Bupati Serang untuk mengatasi kemacetan maupun maraknya tambang yang menghabisi perbukitan. Tidak ada operasi gabungan besar, tidak ada penertiban truk-truk yang melanggar batas tonase, tidak ada audit lingkungan yang transparan.

Di satu sisi, Gubernur Jawa Barat menutup tambang Parung Panjang dengan alasan kerusakan lingkungan dan keseimbangan tata ruang. Di sisi lain, Banten tampak menampung limpahan masalah itu tanpa kebijakan yang jelas. Seolah menjadi halaman belakang pembangunan wilayah Jabodetabek.

Padahal, efek domino dari pembiaran ini sudah terasa: jalan hancur, udara berdebu, sumber air mengering, dan warga hidup di bawah bayang-bayang longsor.

Sore menjelang malam, ketika saya meninggalkan Pulo Ampel, deru mesin truk masih terdengar di kejauhan. Lampu-lampu sorot alat berat menyalak di lereng bukit, menandai giliran kerja malam. Debu kembali beterbangan, menutupi pemandangan laut di ufuk barat.

Di antara raungan mesin itu, saya teringat kalimat seorang warga tua yang saya temui di warung kecil dekat tambang, "Kalau gunung sudah habis, apa yang tersisa buat anak cucu kita?"

Pertanyaan itu menggantung, seperti gema yang menampar nurani siapa saja yang pernah melihat bukit-bukit Banten berdarah debu.

Nantinya, tersisa bukan lagi gunung, bukan lagi jalan yang lapang, hanya kesunyian di antara truk-truk yang terus melintas, dan pemerintah yang terus diam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun