Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Penyikapan Bencana di Jagat Maya

8 Februari 2021   23:27 Diperbarui: 8 Februari 2021   23:33 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Kebijaksanaan tak lain adalah kebenaran atas kebaikan-tindakan, perkataan dan keputusan-yang berpijak pada keluasan pemikiran dan kejernihan hati sehingga mencapai satu titik yang disebut keindahan", Dewar Alhafiz.

Penghujung tahun 2020 hingga bulan kedua di tahun 2021 ini intensitas hujan menjadi mudah untuk ditebak. Curah hujan yang tinggi bercampur angin kencang lebih sering terjadi akhir-akhir ini. Setelah saya amati, umumnya hujan itu turun selepas Dzuhur, Ashar ataupun Magrib. Terkadang hujan turun di tengah malam, dini hari atau di pagi hari, akan tetapi mudah dihitung jari kejadiannya.

Tak jauh beda dengan cerita-cerita yang berkumandang sebelumnya, hujan selalu hadir dengan menggandeng tangan beberapa gerombol teman lamanya. Geliat alam yang sedang menunjukkan taringnya; banjir, longsor, abrasi, gelombang pasang dan gempa bumi.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat terdapat 263 bencana sepanjang Januari 2021. Secara keseluruhan bencana alam tersebut terdiri dari gempa bumi 5 kejadian, kebakaran hutan dan lahan sebanyak 1 kejadian, banjir sebanyak 167 kejadian, tanah longsor sebanyak 42 kejadian, puting beliung terjadi sebanyak 42 kejadian, sementara gelombang pasang dan abrasi terjadi sebanyak 6 kejadian. 

Data di atas menunjukkan bahwa kejadian alam yang mendominasi adalah bencana banjir, disusul puting beliung dan tanah longsor. Bencana alam ini menimbulkan kerusakan dan mengaharuskan mengungsi hingga menyentuh angka 1.548.173 jiwa, sedangkan korban yang meninggal dunia sebanyak 191 jiwa, 9 orang hilang dan 12.042 jiwa luka-luka. 

Padahal sebelumnya pemerintah telah menetapkan bahwa mulai tanggal 13 April 2020 penyebaran Covid-19 dinyatakan sebagai bencana non alam, (sumber; bnpb.go.id)

Bencana alam yang terus-menerus terjadi ini sangat relevan dengan pribahasa; sudah jatuh tertiban tangga pula. Belum saja ganasnya pandemi Covid-19 usai menjaili umat manusia namun alam semesta menghujani kita dengan segala persembahan "duka panjangnya" hingga tak henti-hentinya umat manusia mengelus dada. 

Lembar jejak tahun yang luar biasa. Meski demikian, banjir tetap bencana yang menjadi juara. Jika diibaratkan banjir adalah lagu lama, maka beberapa kota langganan banjir tak lain anak tangga nada, terlanda imbasnya. 

Utamanya di daerah sekitar Ibu Kota Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang dan Bekasi (Jabodetabek) serta daerah-daerah lainnya yang memiliki letak geografis rendah sekaligus memiliki kebobrokan dalam menjaga sanitasi lingkungannya. 

Begitu pula yang terjadi pada 4 Februari 2021, curah hujan yang lebat sempat memancing timbulnya bencana banjir di daerah Semarang. Kota Semarang yang biasanya terhindar dari air bah yang menggenang kini menjadi buah bibir yang tampil ke permukaan. Bahkan berita duka atas bencana alam itu sempat menjadi topik trending di Twitter. Dilengkapi dengan tampilnya konten "nyeleneh" satu-dua di kanal YouTube.

Anehnya, bencana banjir itu santer tampil bak dua sisi mata koin yang saling memunggungi. Pada satu pihak ada kelompok yang berusaha berempati dengan jamuan kalimat dukanya sekaligus membuka penerimaan donasi. 

Sementara di pihak lain terdapat kelompok nyinyir yang berusaha menghubung-hubungkan bencana alam dengan elektabilitas kinerja pemerintahan. Tentu dengan kalimat komparasi sarkastik yang memihak.

Terlebih lagi netizens tahu-menahu bahwa Ibu Kota Jakarta yang biasanya berperan sebagai pemain utama dalam konteks bencana banjir kini masih saja berstatus siaga. Banjir belum melanda Jakarta namun debit air terus saja meningkat menghantam bendungan Katulampa. Pun Badan Nasional Penanggulangan Bencana terus-menerus menghimbau warga Jakarta dan sekitarnya.

Lucu memang, di saat genting seperti ini masih saja ada segelintir orang yang hobinya melawak. Itulah rupa-rupa wajah netizens plus enam dua. Ah, mau diapa? Toh itu wajah asli sebagian dari kita. Mereka tumbuh dalam gempuran stigma; antara merajut citra eksistensi yang tak ada habis-habisnya dengan keluasan menerka-nerka kebebasan menafsirkan satu persoalan yang disuguhkan di jagat Maya. Sampai-sampai asyiknya menguliti kebablasan bukan kepalang.

Dalam hal ini kita harus mampu menggarisbawahi bahwa persoalan dalam bentuk apapun yang telah diunggah ke media sosial selalu lepas dari konteks makna asali yang melibatkan kesadaran pelaku di dalamnya. Sehingga siapapun netizens yang melihatnya berhak menilai dan memberi tafsiran bebas dengan leluasa.

Tidak hanya demikian, lebih jauh justru respon netizens yang "menanggalkan jejak" di kolom komentar itu turut mendefinisikan kembali pemilik akun media sosial tersebut itu seperti apa sekaligus menegaskan posisinya berada di mana. Apakah dia seorang yang bijak, buzzer atau memang sumbu kompor yang mudah tersumet begitu saja.

Menimbang hal itu, mungkin kita masih ingat dengan beberapa kasus oknum yang tersandung jeratan undang-undang informasi dan transaksi elektronik (ITE) karena berusaha menempatkan diri sebagai haters atas satu postingan netizens yang lain. Tentu persoalannya sepele, bermula dari meramaikan cuitan di kolom komentar. 

Namun sialnya, jari-jemari kita memang tidak pernah punya otak dan mata, sehingga tidak mampu mengontrol setiap kalimat yang diketiknya. Bagi jemari, kalimat yang mengandung emosi, kata-kata yang penuh kebencian dan memancing timbulnya permusuhan serta kerugian bagi orang lain tetaplah sama. Tidak pernah ada bedanya. Entah itu dalam bentuk, warna dan rasa. Maklum saja, namanya juga jemari yang hanya bergerak karena naluriah dan instruksi akal pikiran-hati pemiliknya.

Padahal bila kita lebih berhati-hati dengan memfungsikan akal dan mengikuti pertimbangan hati nurani sudah pasti UU ITE menjadi neraca pertimbangannya. Dalam UU ITE pasal 45 ayat 1-5 ditegaskan bahwa setiap orang yang mendistribusikan atau mentransmisikan muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan dan atau pencemaran nama baik, pemerasan dan atau pengancaman maka atas delik aduan akan terjerat pidana dan denda sebagaimana yang telah ditetapkan, (UU RI No. 19 Tahun 2016: 12).

Selain itu dalam pasal 45A signifikansi hukum terkait penggunaan media sosial lebih spesifik lagi. Ayat 1, setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong (hoaks) dan menyesatkan orang lain sehingga menyebabkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik sebagaimana yang dimaksud pasal 28 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan atau denda paling banyak satu miliar, (UU RI No. 12 Tahun 2016: 12).

Redaksi ayat 2 pasal 45 A lebih menegaskan bahwa siapa saja yang sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi dengan tujuan menimbulkan rasa benci atau permusuhan individu maupun kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) mendapatkan sangsi yang sama dengan ayat sebelumnya, (UU RI No. 12 Tahun 2016: 12).

Sementara pasal 45 B mewanti-wanti kita agar tidak sembrono dalam mengirimkan informasi elektronik. Baik itu berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi kepada seseorang, (UU RI No. 12 Tahun 2016: 12).

Sadar atau tidak sebenarnya pasal-pasal tersebut diciptakan untuk mengawal kenyamanan bersama para pengguna media sosial sesuai dengan koridor dan kebijakan yang telah ditetapkan. Saling mengambil manfaat positif dari hadirnya kemutakhiran teknologi informasi yang ada. Bukan malah sebaliknya. 

Untuk mencapai kemanfaatan positif dari kemutakhiran teknologi informasi tersebut maka dibutuhkan kesadaran dan kedewasaan dalam bermedia sosial. 

Kesadaran dalam konteks ini berarti menggunakan media sosial disertai pengetahuan, tujuan yang hendak dicapai sampai dengan melek atas hukum yang bersangkutan dengan hak dan kewajiban dirinya dengan yang lain sebagai sesama pengguna. Setiap netizens selaiknya tahu-menahu betul tentang batasan-batasan antara baik dan buruk, salah dan benar. Mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak.

Sedangkan kedewasaan dalam bermedia sosial bermakna mengutamakan bijak dalam menyikapi segala bentuk respon yang disuguhkan oleh para pengguna media sosial. 

Sikap bijak di sini berarti mendahulukan sikap kritis, analitis, profetis dan humanis. Tidak bersumbu pendek tatkala menghadapi haters dan buzzer yang mengumbar postingan ugal-ugalan. 

Sederhananya, bermedia sosial sudah barang tentu akan lebih elok apabila mendahulukan attitude dan kontekstualitas persoalan yang sedang dihadapinya. Sudah seharusnya kita menjadikan media sosial sebagaimana mestinya-memudahkan semua urusan manusia-bukan malah menjadi bumerang bagi sesama para penggunanya. 

Mari bijak dalam menggunakan media sosial kita. Mari mendahulukan kenyamanan dan keselamatan bersama.

Tulungagung, 8 Februari 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun