Masalahnya tidak berhenti di situ. AI juga bisa dimanfaatkan sebagai senjata propaganda. Penyebaran hoaks, manipulasi opini publik, hingga deepfake yang sulit dibedakan dengan kenyataan berpotensi memecah belah masyarakat. Alih-alih menghadirkan ketenangan, AI justru bisa menjadi bahan bakar baru bagi konflik internal.
3. Gen Z: Motor Baru Aksi Sosial
Gen Z adalah generasi yang lahir dan tumbuh bersama media sosial. Mereka kritis, ekspresif, dan tidak segan menantang otoritas. Satu unggahan viral di Twitter atau TikTok bisa melahirkan demonstrasi kilat.
Di Jepang, misalnya, generasi muda semakin vokal memperjuangkan isu keadilan sosial dan lingkungan. Di negara lain, mereka mendorong perubahan dengan cara yang tak selalu sesuai dengan pola pikir generasi sebelumnya. Bagi rezim yang gagap menghadapi gaya komunikasi baru ini, gesekan nyaris tak terhindarkan. Gen Z bisa menjadi agen perubahan, tetapi juga bisa menjadi pemantik konflik jika suara mereka diabaikan.
4. Konflik Eksternal: Bukan Hilang, Hanya Tertunda
Apakah ini berarti konflik eksternal akan hilang? Tentu tidak. Rivalitas Amerika dan BRICS+ tetap relevan, begitu juga perebutan pengaruh di kawasan Indo-Pasifik, Afrika, maupun Timur Tengah. Namun, banyak negara besar kini lebih sibuk meredam api di dalam rumah mereka sendiri.
Ironisnya, konflik eksternal sering dijadikan “pengalih isu” oleh pemerintah. Saat rakyat gelisah karena harga naik atau lapangan kerja menyempit, isu rivalitas dengan negara lain kadang digoreng untuk menutupi masalah di dalam negeri.
5. Dunia dan “Api Dalam Rumah”
Kombinasi antara AI dan Gen Z membuat konflik internal di abad ini semakin cepat menyebar, semakin sulit dikendalikan. Informasi beredar dalam hitungan detik, dan sentimen publik bisa berubah hanya karena satu potongan video viral. Jika pemerintah gagal mengelola kesejahteraan rakyat dan komunikasi dengan generasi mudanya, gelombang protes akan terus berulang.
Maka, dunia di abad ke-21 tampaknya akan lebih sibuk menghadapi “api dalam rumah” ketimbang sekadar perang antarblok besar. Ancaman terbesar bukan lagi datang dari luar perbatasan, melainkan dari dalam negeri sendiri—dari rakyat yang merasa tak lagi memiliki tempat di pangkuan bangsanya.
Penutup