Mohon tunggu...
Maman Abdullah
Maman Abdullah Mohon Tunggu... Pengasuh Tahfidz | Penulis Gagasan

Magister pendidikan, pengasuh pesantren tahfidz, dan penulis opini yang menyuarakan perspektif Islam atas isu sosial, pendidikan, dan kebijakan publik.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Indonesia Jadi Inspirasi? Gelombang Protes Elit Hedonis Menyebar ke Nepal

11 September 2025   08:15 Diperbarui: 11 September 2025   08:44 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: REUTERS/Navesh Chitraka


Indonesia lebih dulu gaduh. Dari subsidi BBM yang salah sasaran, bansos yang kerap dipolitisasi, hingga tunjangan jumbo anggota DPR—semua memicu gelombang kritik. Demonstrasi rakyat di Pati yang menolak kenaikan PBB, hingga protes di Jakarta soal fasilitas mewah parlemen, menunjukkan betapa sensitifnya publik terhadap perilaku elit.

Tak lama berselang, Nepal bergolak. Ribuan mahasiswa Gen Z turun ke jalan, marah melihat pejabat dan “nepo babies” pamer gaya hidup mewah. Amarah itu membesar hingga kantor pemerintah dibakar, dan Perdana Menteri KP Sharma Oli terpaksa mundur. Apakah ini kebetulan semata, ataukah inspirasi lintas batas?

Subsidi dan Bansos: Cinta Palsu Negara

Subsidi sering dikemas sebagai bentuk kasih sayang negara kepada rakyat. Namun, data menunjukkan hal berbeda. Bappenas (2022) mencatat, 70% subsidi BBM justru dinikmati kelompok menengah ke atas, karena mereka memiliki kendaraan pribadi. Bansos pun demikian: mendekati pemilu, bantuan sosial tiba-tiba deras mengalir lengkap dengan wajah pejabat di kardus beras.

Artinya, subsidi dan bansos lebih sering berfungsi sebagai alat pencitraan politik, bukan solusi struktural. Ia ibarat obat bius yang menenangkan sementara, tanpa menyentuh akar masalah kemiskinan.

Indonesia: Rakyat Jengah pada Elit Fleksing

Di Jakarta, publik murka ketika terungkap anggota DPR menerima tunjangan perumahan hingga Rp50 juta per bulan, sepuluh kali lipat UMP Jakarta. Protes pun merebak, bahkan muncul simbol perlawanan berupa “bendera bajak laut” sebagai tanda rakyat menolak gaya hidup mewah wakilnya.

Di Pati, Jawa Tengah, kenaikan PBB sampai 250% memicu demonstrasi besar. Sekitar 100.000 warga turun ke jalan, menuntut kebijakan dicabut. Mereka merasa diperas, sementara pejabat terlihat tak tersentuh.

Gelombang ketidakpercayaan juga menjelma di dunia maya. Tagar #KaburAjaDulu viral di kalangan anak muda: sindiran pahit bahwa pilihan terbaik adalah pergi meninggalkan negeri karena muak dengan perilaku elit.

Nepal: Gen Z Melawan Nepo Babies

Gelombang serupa muncul di Nepal. Pemerintah yang dianggap korup dan tidak peka mengundang kemarahan generasi muda. Pemicunya: “nepo babies”—anak-anak pejabat dan elit politik—pamer kemewahan di media sosial, sementara rakyat dicekik pengangguran dan harga yang melambung.

Aksi mahasiswa Gen Z berkembang jadi bentrokan besar. Gedung pemerintah dibakar, aparat bentrok dengan demonstran, dan akhirnya Perdana Menteri KP Sharma Oli mundur. Satu pesan yang menggema: rakyat tak lagi tahan melihat elit berfoya-foya di atas penderitaan mereka.
Benang Merah: Sensitivitas Rakyat Global

Kasus Indonesia dan Nepal menunjukkan pola yang sama. Subsidi dan bansos tidak dipandang lagi sebagai bukti cinta negara, melainkan sebagai alat politik. Sementara itu, rakyat makin sensitif terhadap sikap elit yang hedonis. Satu postingan pesta atau jam tangan mewah bisa memicu gelombang amarah berjilid-jilid.

Era media sosial mempercepat resonansi ini. Kemarahan di Indonesia menjadi inspirasi bagi rakyat di Nepal, atau setidaknya membuktikan bahwa keresahan serupa dirasakan di berbagai negara. Dari Jakarta hingga Kathmandu, suara rakyat kini senada: cukup sudah!

Subsidi dan bansos, jika terus dipakai sebagai alat pencitraan, hanya akan memperdalam jurang ketidakpercayaan antara rakyat dan elit. Rakyat tak butuh belas kasih yang penuh kepentingan, melainkan sistem yang adil dan distribusi yang merata.

Pertanyaannya kini: sampai kapan kita bertahan dengan tambalan rapuh ini? Apakah kita rela terus ditenangkan dengan subsidi sesaat, sementara elit tetap berpesta? Atau sudah waktunya mendorong lahirnya kebijakan yang benar-benar berpihak pada rakyat, bukan sekadar menjaga kenyamanan segelintir penguasa?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun