Ibadah haji adalah ibadah agung. Setiap muslim yang berangkat menunaikannya membawa harapan besar: agar pulang dalam keadaan bersih, bagai bayi yang baru lahir. Namun belakangan ini, kabar yang sampai ke telinga kita sungguh memilukan: dugaan korupsi kuota haji yang disebut merugikan negara lebih dari Rp 1 triliun, serta praktik dana talangan haji berbasis riba yang justru dilegalkan dengan alasan mempermudah. Apakah ini yang disebut ahsanu ‘amala—amal terbaik—sebagaimana dikehendaki Allah?
Pelajaran dari Quraisy Jahiliyah
Sejarah mencatat, sebelum Nabi Muhammad ﷺ diutus, orang Quraisy pernah merenovasi Ka’bah. Saat itu mereka sepakat untuk hanya menggunakan harta yang halal. Mereka menolak keras dana hasil riba, hasil perzinaan, atau harta dari kezhaliman.
Dana yang terkumpul akhirnya tidak cukup untuk menutup seluruh pondasi yang dahulu diletakkan Nabi Ibrahim. Akibatnya, sebagian bangunan—yakni Hijr Ismail—dibiarkan di luar Ka’bah hingga hari ini.
Subhanallah, kaum Quraisy yang masih hidup dalam jahiliyah saja paham: amal besar tak boleh tercampur dengan harta haram. Mereka rela Ka’bah tidak sempurna asal kemurnian dana tetap terjaga.
Ahsanu ‘Amala Menurut Qur’an dan Ulama
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“Dialah yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kalian siapa di antara kalian yang paling baik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2)
Ulama besar, Fudhail bin ‘Iyadh, menjelaskan:
“Amal terbaik adalah yang paling ikhlas dan paling benar. Ikhlas berarti hanya karena Allah, benar berarti sesuai sunnah Rasulullah. Jika ikhlas tanpa benar, tertolak. Jika benar tanpa ikhlas, juga tertolak. Amal diterima hanya jika ikhlas sekaligus benar.”
Di zaman kita, penjelasan ini terasa makin kuat: bukan hanya ikhlas dan benar, tapi juga harus bersih dari harta haram. Amal yang tumbuh dari riba atau korupsi, bagaimana mungkin diterima Allah sebagai ahsanu ‘amala?