Ibnu Katsir (1300–1373 M)
Karya Tafsir Ibnu Katsir dan Al-Bidayah wa an-Nihayah (sejarah umat manusia) hingga kini masih jadi referensi utama di madrasah, pesantren, dan perguruan tinggi.
Buya Hamka (1908–1981 M)
Ulama dan sastrawan Nusantara. Menulis lebih dari 100 buku, dari novel populer Tenggelamnya Kapal Van der Wijck hingga Tafsir al-Azhar yang beliau tulis di penjara. Meski wafat lebih dari 40 tahun lalu, karya-karyanya terus dicetak ulang dan dibaca generasi baru.
KH. Bisri Musthofa (1915–1977 M)
Ulama Jawa yang menulis lebih dari 100 kitab. Karya monumentalnya Tafsir al-Ibriz (tafsir 30 juz dalam bahasa Jawa) masih digunakan hingga sekarang.
KH. Hasyim Asy’ari (1871–1947 M)
Pendiri Nahdlatul Ulama. Menulis kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta‘allim yang mengajarkan etika ilmu. Walaupun sudah lebih dari 75 tahun wafat, karya beliau tetap dipelajari di pesantren.
Menulis di Era Digital
Hari ini, menulis jauh lebih mudah. Tidak perlu lagi menyalin dengan tinta dan kertas seadanya. Dengan gawai sederhana, siapa pun bisa menulis, menyimpan, dan menyebarkan karyanya. Satu artikel bisa dibaca ribuan orang hanya dalam hitungan jam.
Jika para ulama dulu sanggup menghasilkan karya besar dengan segala keterbatasannya, tentu kita lebih mampu di era digital ini. Tinggal kemauan yang harus kita kuatkan.
Penutup: Menulis sebagai Jejak Kehidupan
Bagi saya, menulis bukan sekadar cara untuk mengisi waktu, melainkan sebuah ikhtiar meninggalkan jejak. Kita tak pernah tahu sejauh mana sebuah tulisan akan berkelana, atau siapa saja yang akan membacanya. Namun satu hal pasti, tulisan sering kali mampu hidup lebih lama daripada penulisnya.
Lihatlah para ulama dan tokoh besar yang namanya tetap harum hingga kini: Imam Nawawi dengan karya-karyanya yang mendalam, Imam ath-Thabari dengan tafsir monumentalnya, Buya Hamka dengan deretan buku yang merentang dari tafsir hingga novel, atau KH. Bisri Musthofa dengan pesan-pesan keilmuannya. Mereka seakan hadir kembali setiap kali kita membuka lembar-lembar karyanya. Tinta yang mereka torehkan ternyata lebih abadi daripada suara lisan yang mudah hilang ditelan waktu.
Saya pun berharap, setiap goresan kata yang tertulis bisa menjadi amal jariyah—selama ia bermanfaat dan menginspirasi orang lain. Dan jika ada khilaf atau kesalahan, semoga tidak tercatat sebagai dosa, melainkan dimaklumi sebagai kealpaan manusiawi.