Mohon tunggu...
Maman Abdullah
Maman Abdullah Mohon Tunggu... Pengasuh Tahfidz | Penulis Gagasan

Magister pendidikan, pengasuh pesantren tahfidz, dan penulis opini yang menyuarakan perspektif Islam atas isu sosial, pendidikan, dan kebijakan publik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Childfree, Perceraian, dan Hedonisme: Buah Pahit Liberalisme

24 Agustus 2025   07:24 Diperbarui: 1 September 2025   12:29 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini, kata kebebasan menjadi mantra yang diagungkan banyak orang. Ia dipandang sebagai puncak hak asasi manusia, jalan menuju kemajuan, sekaligus kunci kebahagiaan. Namun, ketika kebebasan ditafsirkan tanpa batas, justru lahir kenyataan pahit. Angka perceraian melonjak tajam, tren childfree makin meluas, sementara gaya hidup hedonis merambah generasi muda. Pertanyaannya: apakah kebebasan seperti ini benar-benar membawa kebaikan, atau justru menjerumuskan manusia pada krisis moral?


Gelombang Krisis Keluarga

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sepanjang 2024 terdapat lebih dari 394 ribu kasus perceraian di Indonesia. Penyebab utamanya adalah perselisihan rumah tangga yang tak kunjung selesai dan masalah ekonomi. Angka itu meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya, sementara jumlah pernikahan justru menurun. Kondisi ini menunjukkan bahwa institusi keluarga di negeri kita semakin rapuh.

Fenomena lain yang kian ramai dibicarakan adalah childfree. Data BPS 2022 menunjukkan sekitar 8,2 persen perempuan usia subur memilih tidak ingin memiliki anak meskipun sudah menikah. Alasannya beragam, mulai dari faktor ekonomi, karier, hingga sekadar kenyamanan hidup. Jika tren ini terus berkembang, bukan hanya keluarga yang terancam, tetapi juga masa depan demografi bangsa.

Di sisi lain, gaya hidup hedonis makin menjamur di kalangan generasi muda. Belanja konsumtif, pesta tanpa batas, dan budaya pamer di media sosial dianggap hal biasa. Hedonisme memang memberi kesenangan sesaat, tetapi pada akhirnya mengikis nilai keluarga dan menumbuhkan budaya instan. Childfree, perceraian, dan hedonisme hanyalah sebagian wajah krisis moral yang lahir dari paham kebebasan tanpa pagar.

Akar Liberalisme: Trauma Barat terhadap Agama

Untuk memahami liberalisme, kita perlu menengok sejarah Barat. Paham ini berakar pada trauma panjang terhadap dominasi gereja pada Abad Pertengahan. Kala itu, gereja menguasai urusan politik, ilmu pengetahuan, hingga ekonomi. Banyak ilmuwan dihukum karena pandangannya berbeda, sementara praktik korupsi marak melalui penjualan surat pengampunan dosa.

Masyarakat Barat akhirnya muak. Agama dianggap sebagai belenggu yang menghambat kemajuan. Dari trauma itu lahirlah gagasan bahwa manusia harus bebas dari aturan agama. Prinsip liberalisme pun terbentuk: bebas berkeyakinan, bebas berpikir, dan bebas berperilaku tanpa intervensi Tuhan.

Sekilas gagasan itu terdengar indah. Tetapi ketika agama disingkirkan dari ruang publik, kebebasan berubah menjadi kebablasan. Barat mungkin berhasil dalam sains dan teknologi, tetapi dalam urusan moral dan keluarga mereka justru runtuh.


Buah Pahit Kebebasan Tanpa Batas

Kini, Barat melangkah lebih jauh. LGBT dilegalkan, aborsi dianggap hak individu, dan narkoba di beberapa negara diizinkan. Semua ini disebut sebagai “kemajuan peradaban”. Namun di balik itu, keluarga-keluarga berantakan, angka depresi meningkat, dan moral masyarakat semakin runtuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun