Belakangan ini, wacana mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada) ke DPRD kembali mengemuka. Alasannya beragam — dari efisiensi biaya hingga meminimalkan politik uang. Namun, banyak pihak menolaknya karena khawatir akan mengurangi partisipasi rakyat.
Namun, seharusnya fokus bukan hanya pada bagaimana cara memilih, melainkan siapa yang dipilih. Apakah pemimpin itu akan memandang jabatan sebagai amanah atau sekadar kursi kekuasaan? Di sinilah teladan para pemimpin Islam masa lalu penting kita renungkan. Salah satunya adalah Salman al-Farisi.
Pencari Iman yang Tak Kenal Lelah
Salman lahir di Persia, dari keluarga Majusi yang taat menyembah api. Dalam Siyar A‘lam an-Nubala karya Imam adz-Dzahabi (4/88), disebutkan bahwa Salman muda haus akan kebenaran. Ia meninggalkan keluarganya untuk mencari agama yang lurus, berpindah dari satu guru Nasrani ke guru lainnya, hingga akhirnya sampai di negeri Arab.
Takdir mempertemukannya dengan Rasulullah ﷺ di Madinah setelah perjalanan panjang yang penuh ujian, termasuk dijual sebagai budak. Begitu bertemu Nabi ﷺ, ia langsung mengenali tanda-tanda kenabian yang pernah diceritakan gurunya. Rasulullah ﷺ pun memuliakannya dengan sabda:
“Salman adalah bagian dari kami, Ahlul Bait.” (HR. Ibnu Hibban)
Gubernur yang Tetap Bekerja
Setelah Rasulullah ﷺ wafat, Salman diangkat oleh Khalifah Umar bin Khattab menjadi Gubernur Madain (wilayah dekat Baghdad). Namun, sebagaimana diceritakan oleh Ibnu Sa‘d dalam Tabaqat al-Kubra (4/88), jabatan itu tidak membuatnya hidup mewah. Salman tetap menenun dan menjual hasil tenunannya untuk memenuhi kebutuhan, sementara gaji gubernur ia sedekahkan seluruhnya kepada fakir miskin.
Suatu hari, sebagaimana diriwayatkan dalam Hilyatul Auliya karya Abu Nu‘aim (1/187), Salman terlihat sedang membawa barang belanjaan di pasar Madain. Seorang pendatang baru — yang tidak mengenal wajah gubernur — mengira Salman hanyalah seorang kuli panggul. Ia pun memanggil dan menyuruh Salman mengangkat barangnya. Salman tersenyum, memikul barang itu, dan mengantarkannya hingga ke tujuan.
Sesampainya di rumah, orang itu baru tahu bahwa yang membantunya adalah gubernur. Wajahnya memerah menahan malu dan ia memohon maaf. Namun, Salman berkata:
"Tidak apa-apa. Aku sedang mengangkat barangmu, dan itu membantuku menghapus kesombongan dari hatiku."
Kepemimpinan yang Menghapus Jarak
Salman tidak pernah merasa lebih tinggi dari rakyatnya. Dalam Al-Isti‘ab karya Ibnu Abdil Barr (2/622), disebutkan bahwa ia sering berjalan sendirian tanpa pengawal, menyapa rakyat, dan memeriksa keadaan mereka secara langsung. Ia lebih memilih makan dari hasil tangannya sendiri daripada mengandalkan gaji gubernur.