Sebelum televisi merajai ruang keluarga, hiburan di kampung saya terasa sederhana namun hangat: radio. TV adalah barang mewah yang jarang dimiliki, apalagi di pelosok. Anak-anak lebih akrab dengan radio ketimbang layar kaca. Salah satu momen yang paling saya tunggu adalah saat dongeng Sunda diputar di radio. Saya akan duduk merapat, menajamkan telinga, seolah takut melewatkan satu kata pun dari cerita yang dibawakan.
Bagi kami yang belum terbiasa membaca buku cerita, radio adalah jendela imajinasi. Dari situlah saya mengenal juru dongeng kondang seperti Mang Jaya atau Wa Kepoh, dengan bahasa Sunda kental yang indah. Tutur kata mereka melatih telinga memahami ragam bahasa halus sekaligus memperkaya kosakata.
Selain dongeng, drama radio juga memikat pendengar segala usia. Serial legendaris seperti Tutur Tinular atau Saur Sepuh menghadirkan kisah penuh intrik, pertarungan, kepahlawanan, bercampur unsur mistis. Imajinasi anak-anak pun melanglang buana.
Namun, tidak semua dampaknya positif. Banyak cerita menyelipkan unsur gaib, hantu, teluh, atau kesaktian yang memicu rasa takut berlebihan --- bahkan obsesi untuk memiliki "ilmu" seperti tokohnya. Gelombang ini diperkuat oleh film pahlawan super dari Amerika seperti Superman, Spiderman, dan Batman. Walau menghibur, semua itu hanyalah fiksi. Masalahnya, sebagian orang menjadikannya teladan, seakan mereka tokoh nyata.
Dari Dongeng ke Sinetron: Budaya Hiburan yang Bergeser
Memasuki era televisi modern, cerita rakyat perlahan tersisih oleh sinetron dan telenovela  berjilid-jilid yang tayang dari pagi hingga malam, bertahun-tahun lamanya. Banyak di antaranya mengajarkan gaya hidup glamor, cinta instan, hingga konflik rumah tangga yang dibesar-besarkan demi rating. Sebelum itu, media cetak pun ramai dengan cerpen dan novel --- dari yang mendidik, hingga yang picisan bahkan vulgar.
Sementara itu, cerita rakyat seperti Sangkuriang atau Lutung Kasarung juga cerita wayang tetap hidup di tengah masyarakat, sarat nilai filosofis. Namun, di sinilah muncul masalah yang lebih mendasar: batas antara fiksi, mitos, dan kisah nyata semakin kabur. Banyak orang sulit membedakan mana yang sekadar hiburan, mana yang sungguh terjadi. Padahal, perbedaan itu menentukan cara pandang hidup seseorang.
Budaya Bertutur yang Memudar
Bagi generasi 80--90-an, suara Mang Jaya atau Wa Kepoh adalah bagian masa kecil. Tapi anak-anak sekarang banyak yang tidak lagi mengenal bahasa Sunda lama, apalagi mendengar cerita secara langsung. Budaya bertutur orang tua kepada anak kian luntur, tergantikan oleh layar ponsel yang menyuguhkan konten instan, cepat, dan dangkal.
Padahal, bercerita adalah tradisi manusia sejak ribuan tahun lalu. Kisah diwariskan dari mulut ke mulut, dari panggung ke panggung, dari halaman kitab hingga layar digital. Allah sendiri dalam Al-Qur'an mengabadikan banyak kisah --- bukan untuk sekadar menghibur, tetapi untuk menjadi pelajaran hidup.
Kembali pada Kisah yang Terjamin Benarnya