Malam itu, selepas shalat Isya berjamaah, suasana pondok pesantren terasa sejuk dan tenang. Hujan sore yang mengguyur Garut meninggalkan hawa dingin yang meresap hingga ke tulang. Jamaah duduk melingkar di madrasah, beberapa berselimut sarung, sebagian memegang secangkir air hangat. Diskusi malam itu berlangsung dinamis, karena topik yang dibahas menyentuh jantung persoalan umat: keadilan.
Saya memulai dengan sebuah premis yang sering kali diabaikan: keadilan sejati hanya ada dalam Islam. Hukum buatan manusia, betapapun rapi, selalu memberi celah bagi kepentingan politik dan kekuasaan. Hukum Allah—yang turun melalui wahyu—tidak bisa dibeli, tidak bisa dinegosiasikan, dan tidak mengenal istilah “orang kuat kebal hukum”.
Drama Abolisi dan Amnesti: Potret Buram Hukum Sekuler
Saya lalu menyinggung isu panas yang ramai diperbincangkan publik: keputusan Presiden memberikan abolisi kepada Thomas Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto.
Yang satu dinilai korban kriminalisasi, yang satu memunculkan tanda tanya besar. Di sistem hukum sekuler, presiden memang punya “hak veto” untuk memberi amnesti atau abolisi, bahkan remisi kepada siapa pun—termasuk koruptor kelas kakap. Celah inilah yang sering dimanfaatkan untuk intervensi politik.
Ironisnya, hukum di negeri ini kerap tajam ke bawah, tumpul ke atas. Tajam ke lawan dan tumpul ke kawan. Rakyat kecil bisa dipenjara karena mencuri sepotong kayu bakar, sementara kasus dugaan korupsi triliunan bisa menguap tanpa jejak.
Jawaban untuk Jamaah: Islam Tidak Mengenal Abolisi dan Amnesti
Saat sesi tanya jawab, seorang jamaah bertanya:
"Ustadz, dalam syariat Islam ada abolisi juga?"
Jawaban saya tegas: tidak ada.
Dalam Islam, bahkan kepala negara tidak bisa membatalkan keputusan hakim. Independensi qadhi (hakim) mutlak dijaga. Tidak ada banding atau kasasi untuk memanipulasi putusan, apalagi “jalan belakang” seperti abolisi atau amnesti.
Allah SWT menegaskan: