Beberapa hari lalu, publik menyaksikan vonis mengejutkan: Thomas Trikasih Lembong, mantan Menteri Perdagangan dan Ketua Tim Pakar pasangan Anies-Muhaimin, dijatuhi hukuman 4 tahun 6 bulan penjara atas kasus kebijakan impor gula saat menjabat menteri hampir satu dekade lalu.
Hakim menyatakan: tidak ada niat jahat, tidak ada keuntungan pribadi. Tapi anehnya, hukuman tetap dijatuhkan. Apa yang sedang terjadi?
Politik Balas Dendam dalam Bungkus Hukum
Tom Lembong bukan sekadar mantan pejabat. Ia adalah tokoh publik, intelektual pasar bebas, dan simbol elite yang membelot dari penguasa. Dalam Pilpres 2024, ia menjadi arsitek gagasan lawan politik penguasa.
Maka tak heran jika publik bertanya:
"Apakah vonis ini karena hukum? Atau karena Tom berada di kubu yang kalah dalam demokrasi?"
Mengapa Menteri Lain Tak Tersentuh?
Padahal, menteri-menteri lain juga melakukan kebijakan serupa: impor beras, daging, garam, bahkan minyak goreng. Beberapa kebijakan bahkan lebih merugikan negara dan menimbulkan skandal besar. Namun yang diproses hanya satu: Tom, yang kini tidak lagi bersama mayoritas.
Ini Bukan Pengkhianatan atas Demokrasi—Ini Justru Demokrasi Itu Sendiri
Sering kita mengira bahwa penindasan seperti ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap demokrasi. Padahal tidak. Ini justru cerminan paling kelam dari demokrasi itu sendiri:
Ketika suara terbanyak menentukan kebenaran, maka siapa pun di luar suara mayoritas bisa dianggap “layak dikalahkan”—dengan cara apa pun, termasuk hukum. Inilah yang oleh banyak filsuf disebut sebagai tirani mayoritas: