Mayoritas bukan selalu benar, tapi dalam demokrasi modern, merekalah yang menentukan siapa yang benar.
Hukum Bukan Lagi Penjaga Keadilan, Tapi Alat Kekuasaan
Jika hukum dikendalikan oleh mereka yang menang pemilu, maka ia bukan lagi milik semua warga, tetapi milik pemenang politik. Inilah yang menjelaskan mengapa: Hukum tajam ke lawan politik, tapi tumpul ke dalam. Aktivis ditangkap, sementara buzzer kekuasaan bebas menyebar kebencian. Pejabat loyal aman dari jerat, sementara yang kritis diintai pasal.
Tom Lembong: Korban Sistem, Bukan Sekadar Korban Rezim
Kasus Tom Lembong tidak bisa dilihat hanya sebagai persoalan hukum biasa atau konflik elit kekuasaan. Ia adalah cermin dari cacat bawaan demokrasi itu sendiri—sebuah sistem yang menjadikan suara mayoritas sebagai sumber kebenaran, hukum sebagai alat kekuasaan, dan opini publik sebagai komoditas yang bisa dikendalikan.
Mencari keadilan dalam sistem demokrasi ibarat menegakkan benang basah. Mekanisme hukum dan politik yang dijalankan atas nama demokrasi sering kali tidak berpihak pada kebenaran, tetapi pada kekuatan: siapa yang berkuasa, dialah yang menentukan “kebenaran”. Demokrasi tidak mengenal standar ilahiyah, hanya prosedur formalistik.
Ironisnya, Tom Lembong dituduh berpihak kepada kaum kapitalis, padahal rezim yang menindaknya justru berjalan dengan fondasi kapitalisme—mengakomodasi kepentingan pasar bebas, mengandalkan investor asing, dan mengesampingkan prinsip keadilan sosial. Ini menunjukkan bahwa bukan hanya orang yang dikorbankan, tapi akal sehat pun turut dikorbankan.
Paradoks Demokrasi-Kapitalisme
Demokrasi modern, sebagaimana dijalankan di negeri-negeri sekuler, tidak netral. Ia secara ideologis berpadu dengan kapitalisme. Sistem ini memungkinkan hukum dikendalikan oleh elite pemilik modal, menjadikan rakyat sebagai obyek politik, dan menggiring arah kebijakan bukan pada kemaslahatan umat, melainkan pada keuntungan segelintir oligarki.
Maka, kritik terhadap demokrasi bukan hanya soal penguasa yang zalim, tetapi pada sistem yang memungkinkan kezaliman itu dilegalisasi. Ketika keadilan harus tunduk pada prosedur demokratis, dan hukum bisa dibengkokkan sesuai selera pemilik kuasa, maka yang terjadi bukan negara hukum, melainkan negara dagang—di mana hukum bisa diperjualbelikan.
Penutup: Saatnya Kembali pada Sistem Ilahiyah