Mohon tunggu...
Maman Abdullah
Maman Abdullah Mohon Tunggu... Pengasuh Tahfidz | Penulis Gagasan

Magister pendidikan, pengasuh pesantren tahfidz, dan penulis opini yang menyuarakan perspektif Islam atas isu sosial, pendidikan, dan kebijakan publik.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Ketika Hukum Jadi Palu Godam: Sisi Gelap Demokrasi dalam Kasus Tom Lembong

23 Juli 2025   22:42 Diperbarui: 21 Agustus 2025   11:55 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mayoritas bukan selalu benar, tapi dalam demokrasi modern, merekalah yang menentukan siapa yang benar.


Hukum Bukan Lagi Penjaga Keadilan, Tapi Alat Kekuasaan

Jika hukum dikendalikan oleh mereka yang menang pemilu, maka ia bukan lagi milik semua warga, tetapi milik pemenang politik. Inilah yang menjelaskan mengapa: Hukum tajam ke lawan politik, tapi tumpul ke dalam. Aktivis ditangkap, sementara buzzer kekuasaan bebas menyebar kebencian. Pejabat loyal aman dari jerat, sementara yang kritis diintai pasal.

Tom Lembong: Korban Sistem, Bukan Sekadar Korban Rezim

Kasus Tom Lembong tidak bisa dilihat hanya sebagai persoalan hukum biasa atau konflik elit kekuasaan. Ia adalah cermin dari cacat bawaan demokrasi itu sendiri—sebuah sistem yang menjadikan suara mayoritas sebagai sumber kebenaran, hukum sebagai alat kekuasaan, dan opini publik sebagai komoditas yang bisa dikendalikan.

Mencari keadilan dalam sistem demokrasi ibarat menegakkan benang basah. Mekanisme hukum dan politik yang dijalankan atas nama demokrasi sering kali tidak berpihak pada kebenaran, tetapi pada kekuatan: siapa yang berkuasa, dialah yang menentukan “kebenaran”. Demokrasi tidak mengenal standar ilahiyah, hanya prosedur formalistik.

Ironisnya, Tom Lembong dituduh berpihak kepada kaum kapitalis, padahal rezim yang menindaknya justru berjalan dengan fondasi kapitalisme—mengakomodasi kepentingan pasar bebas, mengandalkan investor asing, dan mengesampingkan prinsip keadilan sosial. Ini menunjukkan bahwa bukan hanya orang yang dikorbankan, tapi akal sehat pun turut dikorbankan.

Paradoks Demokrasi-Kapitalisme

Demokrasi modern, sebagaimana dijalankan di negeri-negeri sekuler, tidak netral. Ia secara ideologis berpadu dengan kapitalisme. Sistem ini memungkinkan hukum dikendalikan oleh elite pemilik modal, menjadikan rakyat sebagai obyek politik, dan menggiring arah kebijakan bukan pada kemaslahatan umat, melainkan pada keuntungan segelintir oligarki.

Maka, kritik terhadap demokrasi bukan hanya soal penguasa yang zalim, tetapi pada sistem yang memungkinkan kezaliman itu dilegalisasi. Ketika keadilan harus tunduk pada prosedur demokratis, dan hukum bisa dibengkokkan sesuai selera pemilik kuasa, maka yang terjadi bukan negara hukum, melainkan negara dagang—di mana hukum bisa diperjualbelikan.

Penutup: Saatnya Kembali pada Sistem Ilahiyah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun