Dalam realitas demokrasi yang berjalan hari ini, proses politik seringkali tak ubahnya seperti mekanisme dagang. Setiap langkah menuju kursi kekuasaan dipenuhi biaya tinggi: kampanye, lobi politik, konsolidasi dukungan, hingga "mahar" yang tak jarang disamarkan dalam bentuk lainnya. Maka wajar jika banyak pejabat publik, setelah terpilih, merasa memiliki hak moral untuk “mengambil kembali” apa yang telah mereka keluarkan. Logika investasi pun menuntut balik modal, dan dari situlah korupsi menyusup bukan sebagai penyimpangan, tapi menjadi bagian dari sistem itu sendiri.
Dalam situasi seperti ini, korupsi bukan lagi dianggap sebagai kejahatan, melainkan konsekuensi logis dari permainan kekuasaan yang diatur oleh prinsip keuntungan. Selama bisa menghasilkan manfaat, banyak aktor politik tak lagi peduli apakah jalannya halal atau haram. Inilah wajah buram demokrasi dalam balutan kapitalisme: segalanya dinilai berdasarkan untung dan rugi, bukan benar dan salah.
Kapitalisme: Sistem yang Buta terhadap Halal dan Haram
Pada dasarnya, ideologi kapitalisme memang tidak mengakui agama sebagai landasan dalam menyusun aturan kehidupan publik. Prinsip dasarnya adalah sekularisme—memisahkan urusan agama dari ranah politik, hukum, dan ekonomi. Keputusan diambil bukan atas dasar wahyu atau nilai-nilai ketuhanan, melainkan atas dasar efisiensi, manfaat praktis, dan kekuatan lobi.
Tak heran jika dalam sistem seperti ini, praktik suap, jual beli kebijakan, pengaturan proyek, bahkan pembajakan regulasi oleh oligarki, dianggap sebagai hal wajar. Selama prosedur hukum formal terpenuhi dan tidak menimbulkan kegaduhan besar, maka praktik tersebut dilabeli “legal” meski dari sudut pandang moral dan agama sangat rusak.
Kapitalisme telah melahirkan generasi penguasa dan pebisnis yang mengejar akumulasi manfaat (utility) tanpa mempertimbangkan nilai ruhani. Dalam sistem ini, simbiosis antara elite politik dan pengusaha menjadi semacam aliansi permanen. Mereka membentuk jaringan kekuasaan yang saling melindungi, saling memperkaya, dan pada akhirnya menyandera kepentingan rakyat secara sistemik.
Islam: Sistem Hidup yang Menolak Korupsi Sejak Akar
Berbeda dengan kapitalisme, Islam hadir bukan sebagai agama ritual semata, melainkan sebagai sistem hidup yang menyatukan akidah, syariat, dan tata kelola masyarakat dalam satu kesatuan utuh. Dalam perspektif Islam, kepemimpinan adalah amanah, bukan aset yang diperjualbelikan. Seorang pemimpin bukan diberi wewenang untuk mengejar keuntungan, melainkan diminta pertanggungjawaban untuk menegakkan keadilan dengan hukum Allah sebagai rujukannya.
Islam menempatkan halal dan haram sebagai standar mutlak dalam setiap kebijakan dan tindakan. Rasulullah ﷺ bahkan mengingatkan bahwa setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang ia pimpin, bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam sistem Islam, pengawasan tidak hanya berasal dari lembaga negara, tetapi juga masyarakat melalui lembaga hisbah (pengawas publik) yang memiliki otoritas untuk menegur bahkan menindak pejabat yang melenceng. Tidak ada kekebalan hukum atau keistimewaan jabatan yang membuat seseorang kebal dari koreksi.