Mohon tunggu...
Maman Abdullah
Maman Abdullah Mohon Tunggu... Pengasuh Tahfidz | Penulis Gagasan

Magister pendidikan, pengasuh pesantren tahfidz, dan penulis opini yang menyuarakan perspektif Islam atas isu sosial, pendidikan, dan kebijakan publik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Buah Konyal dan Ratu Isabela yang Jarang Mandi

7 Agustus 2025   19:16 Diperbarui: 21 Agustus 2025   06:39 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buah Kecil, Cerita Besar

Hari itu saya hanya lewat di depan toko buah. Tak ada niat membeli. Tapi di antara tumpukan apel, salak, dan jeruk yang biasa, ada satu sosok kecil yang membuat saya berhenti: konyal—buah liar, manis segar, penuh nostalgia.

Sekilas bentuknya mirip markisa, tapi jangan tertipu. Kulit konyal lebih tipis, dagingnya kenyal, dan rasanya bukan asam menusuk seperti markisa, melainkan manis lembut yang menyegarkan. Bagi yang pernah tinggal di kampung-kampung pedalaman Jawa Barat atau Sumatera, buah ini mungkin tak asing. Tapi bagi dunia modern—ia nyaris tak dikenal.

Melihat konyal itu, saya teringat seorang kawan. Di depan rumahnya, pohon konyal menjulur liar, merambat melewati genting. Tiap musimnya, konyal selalu hadir sebagai suguhan. Ia bercerita, dulu konyal tumbuh di mana-mana tanpa pernah ditanam. Rupanya, bijinya tersebar lewat... kotoran anak-anak. Ya, anak-anak yang makan konyal, lalu buang hajat sembarangan—meninggalkan biji yang kelak tumbuh menjadi tanaman.

Kami menyebutnya dolbon, istilah Sunda untuk buang air besar di kebun. Suatu aktivitas lumrah di masa ketika WC masih langka. Tak disangka, dari kebiasaan "primitif" itu, lahirlah pohon buah yang manis. Dari najis, tumbuh yang segar.

Ketika Dolbon Lebih Bersih dari Istana

Cerita konyal dan dolbon ini menggelitik sekaligus menyentil. Karena ketika kita menganggapnya kampungan, mari kita lihat ke arah lain—ke Eropa abad pertengahan.

Kita sering memandang peradaban Barat dengan kekaguman. Mereka dianggap pelopor kebersihan, kesehatan, dan kecanggihan sanitasi. Namun sejarah bicara lain. Di masa kejayaannya, Eropa justru tenggelam dalam bau busuk yang luar biasa. Ratu Isabela dari Castile—tokoh besar yang bersama Raja Ferdinand mengusir umat Islam dari Spanyol—ternyata nyaris tidak pernah mandi seumur hidupnya. Ia hanya mandi dua kali: saat lahir dan saat menikah. Alasannya? Di masa itu, air dianggap berbahaya. Mandi bisa membuka pori-pori dan menyebabkan penyakit.

Christopher Columbus meminta dukungan dari Isabella I dan Ferdinand II dari Spanyo  (dok. britannica-com)
Christopher Columbus meminta dukungan dari Isabella I dan Ferdinand II dari Spanyo  (dok. britannica-com)

Bangsawan Prancis dan Spanyol bahkan rela memakai parfum menyengat hanya untuk menutupi bau badan. Jalan-jalan di kota besar seperti Paris dipenuhi limbah manusia, karena tak ada sistem pembuangan. Bahkan ada kebiasaan membuang kotoran dari jendela lantai dua ke jalanan.

Bandingkan dengan ajaran Islam yang bahkan dalam perkara buang hajat pun punya adab khusus: tidak menghadap kiblat, membersihkan diri dengan air, mencuci tangan, hingga berdoa setelahnya. Bersuci menjadi syarat sahnya ibadah. Mandi bukan sekadar kebiasaan, tapi perintah agama.

Peradaban Islam di masa yang sama—di Andalusia, Baghdad, dan Kairo—justru membangun sistem sanitasi, rumah mandi umum, hingga kanal bersih. Tak heran jika ilmuwan Islam seperti Al-Zahrawi dan Ibnu Sina menulis risalah kebersihan ratusan tahun sebelum Eropa mengenal sabun.

Kebersihan: Bukan Simbol, Tapi Akhlak

Konyal dan dolbon bukan sekadar kisah lucu masa kecil. Ia adalah cermin: bahwa kebersihan bukan soal tempat atau simbol, tapi soal niat dan nilai.  Kita hidup di zaman yang rapi di permukaan, tapi sering lalai membersihkan akar. Segalanya dibungkus citra: yang beraroma dianggap bersih, yang megah dianggap suci. Padahal, Islam tak pernah mengajarkan sekadar menutup bau—melainkan menghapus najisnya. Bersuci dalam Islam bukan sekadar ritual, tapi pangkal adab dan awal dari peradaban.

Kini, konyal mungkin hanya buah kecil yang teronggok di pojok toko kampung. Tapi di balik kulit tipisnya, tersimpan pelajaran yang mahal: bahwa sesuatu yang tumbuh dari tanah biasa, bahkan dari sisa yang diremehkan, bisa menghadirkan rasa yang jujur dan segar.

Begitulah Islam mengajarkan kebersihan: bukan demi penampilan, melainkan demi kemuliaan. Bukan sekadar mencuci tangan, tapi menyucikan niat dan amal. Dalam dunia yang sibuk menutupi bau, barangkali sudah saatnya kita belajar lagi dari pohon konyal—dan dari sejarah yang tak selalu harum.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun