Mohon tunggu...
Maman Abdullah
Maman Abdullah Mohon Tunggu... Pengasuh Tahfidz | Penulis Gagasan

Magister pendidikan, pengasuh pesantren tahfidz, dan penulis opini yang menyuarakan perspektif Islam atas isu sosial, pendidikan, dan kebijakan publik.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Citra yang Menipu: Demokrasi dan Kesadaran yang Terlambat

29 Juli 2025   13:48 Diperbarui: 21 Agustus 2025   10:38 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepuluh tahun terakhir adalah pelajaran mahal bagi bangsa ini. Di tengah gegap gempita demokrasi yang katanya menjunjung suara rakyat, kita menyaksikan bagaimana pencitraan berhasil menutup kekurangan, menggantikan substansi, dan memanipulasi persepsi publik. Sosok Jokowi adalah contoh paling gamblang dari fenomena ini—sebuah kemenangan citra atas kualitas.

Dua kali Pilpres, 2014 dan 2019, rakyat Indonesia—termasuk sebagian besar kaum terdidik—memilih dengan perasaan, bukan dengan nalar. Jokowi hadir membawa narasi sipil, merakyat, dan sederhana. Sementara Prabowo, karena latar belakang militernya, langsung dicap otoriter. Dalam cara berpikir yang sangat simplistis, masyarakat dijejali doktrin: sipil pasti demokratis, militer pasti represif. Padahal, sejarah membuktikan tidak sesederhana itu. Lucunya, mereka yang paling percaya pada mitos sipil ini bukan rakyat jelata, tapi kalangan intelektual—dari seniman, akademisi, dosen, doktor, hingga profesor. Mereka yang seharusnya menjadi penyangga akal sehat publik justru ikut larut dalam arus besar pencitraan.


Pencitraan Butuh Modal, dan Demokrasi Membukakan Jalan

Inilah sisi gelap demokrasi yang jarang dibicarakan: pencitraan memerlukan biaya besar. Dalam sistem demokrasi, selama Anda punya modal dan tim branding yang kuat, Anda bisa menciptakan sosok apa pun yang diinginkan publik. Inilah kenapa para pemodal besar dan oligarki sangat menyukai demokrasi—mereka bisa menempatkan siapa saja di kursi kekuasaan asal sesuai kepentingan mereka.

Mayoritas pemilih adalah rakyat miskin dan belum memiliki literasi politik yang kuat. Mereka mudah terpukau oleh simbol, gaya bicara, gestur sederhana, atau baju kotak-kotak yang diklaim "anti-elit". Tapi yang lebih menyedihkan adalah ketika kaum menengah dan intelektual justru ikut menyebarkan narasi semacam itu. Mereka tidak lagi menjadi penafsir realitas yang objektif, tetapi menjadi pendukung fanatik dari sebuah ilusi politik.

Kesadaran yang Datang Terlambat

Kini, ketika masa kekuasaan telah lewat dan berbagai kerusakan muncul ke permukaan, satu demi satu tokoh mulai bersuara. Banyak yang dulunya Jokower garis keras kini mulai sadar. Kita ambil contoh, di antaranya: Iwan Fals, Prof. Saiful Mujani, Prof. Azyumardi Azra (alm.), Goenawan Mohammad, Islah Bahrawi, Anies Baswedan, Jusuf Kalla, dan banyak lainnya.

Kesadaran mereka datang dari berbagai jalan: ada yang melihat fakta tak sesuai harapan, ada yang tersadar lewat perenungan intelektual, ada pula yang kecewa karena tak lagi diberi peran dalam kekuasaan. Tapi semua sadar bahwa mereka pernah mendukung sesuatu yang keliru. Sayangnya, kesadaran ini muncul ketika segalanya sudah telanjur rusak.

Masalahnya Bukan Hanya Figur, Tapi Sistem
Bukan semata-mata soal Jokowi. Ini bukan soal satu orang. Ini soal sistem demokrasi itu sendiri, yang membuka ruang begitu besar untuk kebohongan kolektif bernama pencitraan. Selama kita masih menjadikan suara mayoritas sebagai tolok ukur kebenaran, selama itu pula kualitas akan kalah oleh popularitas. Pemilu akan tetap menjadi kontes branding, bukan ajang seleksi kepemimpinan.

Butuh Paradigma Baru: Memilih Pemimpin yang Takwa

Sudah saatnya kita mengubah cara pandang. Indonesia butuh lebih dari sekadar pemimpin sipil atau pemimpin militer. Kita butuh pemimpin yang bertakwa kepada Tuhannya, yang memimpin dengan rasa takut kepada Allah, bukan takut kehilangan kursi.
Pemimpin yang sadar bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan alat balas dendam. Pemimpin yang menjadikan kejujuran sebagai nafas, bukan sekadar slogan. Pemimpin yang tidak sekadar berkomitmen di depan kamera, tapi sungguh-sungguh menjunjung nilai moral dan keadilan di hadapan Tuhan dan manusia.

Dalam sejarah Islam, pemimpin seperti ini dicari bukan karena popularitasnya, tapi karena keikhlasannya. Ketika Umar bin Khattab memimpin, rakyat tahu bahwa pemimpinnya tidur di atas tikar kasar, tapi pikirannya penuh untuk umat. Ketika Abu Bakar memimpin, ia bukan hanya menangis dalam doa, tapi juga menangis karena takut tak mampu menunaikan amanah umat.

Di negeri ini, sudah saatnya kita menjadikan ketakwaan dan kapasitas sebagai dua syarat utama dalam memilih pemimpin. Jika tidak, maka kisah seperti ini akan terus berulang. Figur boleh berganti, tapi pola manipulasi akan tetap sama.

Dan kita akan terus menjadi bangsa yang salah memilih, lalu menyesal belakangan—lagi dan lagi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun