Tiga tahun lalu, kami memulai pembangunan asrama untuk santri penghafal Al-Qur’an. Rancangannya dua lantai, cukup untuk menampung para santri putera yang siang-malam menghafal Kalamullah. Tapi hingga hari ini, bangunan itu belum selesai. Masih berupa dinding bata, tiang cor, dan harapan yang menunggu waktu.
Bukan karena kami diam. Kami terus bergerak semampu kami. Hingga hari ini, kami belum pernah mengajukan bantuan secara langsung ke Pemerintah kabupaten atau provinsi maupun ke partai politik manapun. Secara prinsip, kami memang memilih untuk tidak menempuh jalur partai politik dalam urusan bantuan. Bukan karena merasa lebih baik, tapi karena kami ingin menjaga independensi lembaga dan fokus pada pelayanan pendidikan tanpa kepentingan lain. Kami tahu, ada pesantren lain yang mendapat hibah hingga miliaran, bahkan puluhan miliar. Kami menghargai itu sebagai rezeki masing-masing. Jika ada pihak yang datang membantu dengan niat tulus dan transparan, tentu akan kami sambut dengan syukur, tanpa menggadaikan prinsip.
Itu bukan keluhan. Kami tidak sedang iri. Kami justru ikut bersyukur bila itu benar-benar digunakan untuk membangun pendidikan Islam di negeri ini. Tapi, izinkan kami merenung bersama: dari belasan ribu pondok pesantren yang ada di Jawa Barat, mengapa hanya sebagian kecil yang menerima? Apakah karena harus memiliki kedekatan? Atau perlu rekomendasi dari tokoh tertentu? Atau mungkin ada jalur yang tidak bisa diakses oleh pondok kecil seperti kami?
Saat Rumah Pengurus Menjadi Asrama Darurat
Karena bangunan asrama belum bisa ditempati, santri putera sementara tinggal di sebuah rumah kosong milik salah satu pengurus. Tapi dalam waktu dekat, rumah itu akan kembali digunakan oleh pemiliknya. Kami belum tahu ke mana akan memindahkan para santri. Mungkin akan berpindah ke ruang belajar, atau sementara menumpang lagi di rumah warga.
Situasi ini memunculkan satu pertanyaan penting: ke mana arah kebijakan kita soal pemerataan bantuan pendidikan keagamaan? Apakah pondok yang kecil, yang jauh dari sorotan media dan kekuasaan, tak cukup penting untuk diperhatikan?
Ketika Keadilan Terkikis oleh Jaringan Kuasa
Di saat pondok-pondok kecil berjuang membangun bata demi bata, kita mendengar kabar lain: penyaluran dana hibah pesantren di Jawa Barat tengah dihentikan sementara. Di waktu yang sama, kita membaca berita korupsi ratusan miliar di kementerian, penyelewengan dana bansos, bahkan triliunan rupiah kekayaan tambang tak masuk kas negara.
Bagaimana mungkin negeri sebesar ini kekurangan dana untuk membangun fasilitas layak bagi para penjaga Al-Qur’an? Ataukah persoalannya bukan pada jumlah dana, tapi pada sistem yang menutup akses mereka yang tak punya “jalur”?
Kekuatan Umat adalah Jalan Mandiri Pembinaan Islam
Namun di tengah kenyataan pahit itu, kami percaya pada satu hal:
Perjuangan dakwah tidak boleh berhenti hanya karena tak mendapat dukungan penguasa. Sejarah Islam sejak awal justru ditopang oleh kekuatan umat.
Lihatlah banyak pondok besar di Indonesia—yang tumbuh tanpa bergantung pada dana negara. Mereka dibangun dari keringat sendiri, dari infak umat, dari kesungguhan masyarakat yang peduli akan pendidikan generasi. Mereka tak bersandar pada janji penguasa, tapi bertumpu pada keikhlasan umat.
Dan kami pun belajar dari itu: jika negara tak hadir, umat harus saling menguatkan. Jika akses ke bantuan tertutup, maka doa dan dukungan masyarakat bisa membuka jalan-jalan baru. Kekuatan umat bukan sekadar pilihan, tapi fondasi paling kuat dari pembinaan Islam.
Mari Merenung: Negeri Ini Milik Siapa?
Tulisan ini bukan protes, bukan pula ajakan donasi. Ini hanya ajakan merenung: negeri ini milik siapa?
Apakah hanya mereka yang punya jalur kekuasaan yang layak dibantu? Apakah para penghafal Qur’an yang tinggal di pondok-pondok kecil tak cukup penting bagi masa depan bangsa?
Kami tidak butuh diprioritaskan. Kami hanya ingin diperlakukan adil. Dan kalau pun tak ada bantuan negara, kami tahu: ada kekuatan lain yang lebih dahsyat—yakni kekuatan umat yang ikhlas dan tulus. Semoga Allah limpahkan keberkahan kepada semua pondok, baik yang besar maupun yang kecil. Semoga negeri ini segera ditata ulang, agar tak hanya berpihak pada yang kuat, tapi juga peduli pada yang istiqamah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI