Mohon tunggu...
MomAbel
MomAbel Mohon Tunggu... Apoteker - Mom of 2

Belajar menulis untuk berbagi... #wisatakeluarga ✉ ririn.lantang21@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pamrih

10 Juni 2021   06:00 Diperbarui: 10 Juni 2021   06:24 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar apartemen mewah (Foto: pixabay.com/FelixMittermeier)

Seperti pagi sebelumnya, aku pergi ke taman kota. Udara sejuk sangat cocok untuk olahraga ringan. Seperti pagi sebelumnya juga, setelah olahraga ringan aku selalu duduk di bangku dekat pohon trembesi.

Kubuka botol minumku. Seteguk air putih memberi kesejukan di tenggorokan. Perlahan kuminum air putih dalam botol biru itu.

Seorang ibu paruh-baya ikut duduk di bangku seberangku. Anggukan yang diiringi senyum kuanggap sebagai tanda permisi. Kubalas dengan anggukan berikut senyum.

"Sendirian, Mba?" sapanya.

"Iya, Tante... Sudah biasa. Tante sendirian?" tanyaku.

"Iya, anak tante nggak di sini. Yang satu ikut suaminya di negeri seberang. Yang satu lagi bulan kemarin baru saja berpulang, " sahutnya.

"Maaf, maksudnya meninggal, Tan?" tanyaku hati-hati.

Dia hanya mengangguk pelan sekali. Kesedihan jelas tergambar di raut wajahnya. Sebenarnya ibu ini belum terlalu tua juga. Mungkin pengalaman hidupnya membuat guratan-guratan halus di wajah lembutnya.

"Turut berduka ya, Tan... " ucapku. Beliau mengangguk. Setelah itu, beliau mengalir bercerita tentang putrinya yang bernama Zanetta.

"Zanetta meninggal karena sedih dan kecewa yang mendalam, Mba... Suatu sore ketika duduk di pantai, tiba-tiba kepalanya terkulai. Dia pergi begitu saja!" katanya lirih dan sedih.

"Sepertinya dia terkena serangan jantung. Entahlah, Tante tak mau dia diotopsi. Tiga hari sebelumnya, dia hanya bercerita kalau dia syok, sedih, dan kecewa, " lanjutnya. Kusediakan telingaku untuk tetap mendengar ceritanya.

"Umur berapa Zanetta, Tante?" tanyaku hati-hati.

"Dia baru kelas 2 SMA. Sebelumnya dia bahagia sekali dengan pacarnya. Pacarnya ini baiikkkk banget... Dia bayar sekolah Zanetta, dibelikan apartemen Blue Park, sering juga kasih kejutan..."

"Pokoknya perhatian sekali sama Zanetta. Dua tahun Zanetta merasa nyaman dan bahagia. Sayangnya, tiga hari sebelum Zanetta meninggal, dia berterus-terang..." Ucapan ibu itu berhenti. Beliau memandang ke atas seolah ingin menahan air mata yang berusaha keluar.

"Sabar, Tante..." ucapku untuk menenangkannya. Beliau tersenyum getir.

"Pacarnya berterus terang jika selama ini dia sudah punya anak dan istri. Dia ingin kembali ke istrinya. Zanetta sedih. Dia kecewa berat! Zanetta sangat mencintai pacarnya," lanjutnya.

Sekuat tenaga aku menahan untuk tidak bicara meski rasa penasaran menggelora. Ibu itu makin terlihat sedih. Aku tak tahu harus apa.

"Sabar ya, Tante... " ucapku lagi. Beliau berusaha tersenyum. 

Matahari mulai meninggi. Aku beranjak berdiri diikutinya. Kami berjalan bersama menuju tempat parkir

"Kuat ya, Tante! Sampai ketemu lagi!" pamitku di ujung jalan.

Kini aku sudah di dalam "marmut", mobil kesayanganku. Kuarahkan laju mobilku langsung ke rumah.

Melewati deretan apartemen Blue Park, ingatanku kembali ke Zanetta dan ibunya. Betapa polos atau mungkin naifnya mereka. Semua orang tahu apartemen Blue Park adalah apartemen mewah dan mahal.

Adakah cinta yang tulus di antara gedung pencakar di kota ini? Adakah kesederhanaan hidup di dalam butik mahal? Adakah kejujuran dibalik make up tebal? Adakah yang gratis di kota besar seperti ini? Adakah pemberian tanpa pamrih?

"Anak SMA dengan pria beristri," kataku dalam hati.

"Mungkinkah semuanya tulus tanpa pamrih?" tanyaku.

"Ah, sudahlah..." kutepis pikiran burukku.

Hidup bukan masalah hitam dan putih. Seringkali keduanya berpadu kemudian bergradasi hingga menjadi abu-abu. Cinta lugu bertemu dengan rayu penuh pamrih nan palsu. Semuanya menjadi kelabu.

Cikarang, Juni 2021

Catatan: cerita ini fiktif belaka, jika ada kesamaan cerita, nama, dan tempat adalah kebetulan semata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun