Mohon tunggu...
MomAbel
MomAbel Mohon Tunggu... Apoteker - Mom of 2

Belajar menulis untuk berbagi... #wisatakeluarga ✉ ririn.lantang21@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tangis di Ruang Ujian

14 April 2021   17:00 Diperbarui: 14 April 2021   17:32 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi ruang ujian (Foto : pixabay.com/PublicDomainPictures)

Yogyakarta, 2005

Aku tergesa pagi ini. Semalam aku ketiduran setelah minum kopi. Payah! Kopi justru mengantarku tidur nyenyak, padahal aku belum selesai belajar.

Hari ini ujian Undang-undang dan Etika Kefarmasian. Duh, hafalan mentah begini entah apa hasilnya kalau belum selesai belajar? Aku berjalan dengan kepanikan.

Sampai di depan swalayan Hijau, ternyata aku masih harus menunggu angkot yang lama. Aku mendengus. Mungkin sebaiknya aku tak minum kopi lagi. Bukannya melek, yang ada malah ngantuk. Sebuah anomali dalam diriku.

Kini angkot sudah datang. Segera aku duduk di bangku yang kosong. Tanganku masih tetap memegang handout. Sembari kubaca sedikit bahan ujian.

Jarak kostku dengan kampus tak terlalu jauh sebenarnya. Dulu di awal kuliah, aku malah sering jalan kaki. Tapi kalau musim ujian begini, naik angkot adalah keharusan untuk mahasiswa sepertiku. Ya, aku mahasiswa SKS alias sistem kebut semalam!

"Gedung Pusat ya, Pak!" kataku kepada sopir angkot.

Angkot pun berhenti di samping gedung tua dimana rektor dan jajaran orang penting universitas berkantor. Segera kubayar ongkos angkot. Aku pun segera menyeberang jalan menuju fakultasku.

Betul. Aku datang sangat mepet. Teman-teman sudah masuk ke ruang ujian. Aku berusaha untuk santai, tinggal mencari dimana posisi Andre, si dumbo besar itu. Tempat dudukku pasti di depannya karena NIM-ku satu nomor di atasnya.

Hmmm... hampir 5 tahun di fakultas ini, tentu aku hafal. Benar saja Andre "dumbo" sudah ada di ruang ujian. Dia senyum-senyum ngece melihatku tergopoh-gopoh begini. Dia memang selalu rajin dan hidup teratur. Beda dengan aku yang ceroboh ini.

Tak lama kemudian, ujian dimulai. Kupejamkan mataku sebentar untuk menghadap Sang Maha. Semoga bisa mengerjakan mata kuliah yang sungguh membuatku gedubrakan ini.

Suasana ruangan menjadi senyap. Semua sibuk mengerjakan ujian. Aku pun sibuk memikirkan jawaban ujian ini. Beberapa aku belum yakin dengan jawabanku.

Ujian baru berjalan 10 menit. Aku baru menyelesaikan dua soal. Tiba-tiba kesenyapan di ruangan pecah oleh satu suara. Ada suara isakan tangis yang diikuti sesenggukan yang teramat dalam.

Kutolehkan kepalaku ke belakang dimana suara berasal. Semua teman juga mengarahkan pandangan menuju ke belakang. Aku kaget melihat bu Retna menangis dengan isakan yang sangat berat.

Tak lama dari itu, kulihat pak Gunawan mendekatinya. Kepala administrasi fakultasku itu segera berbicara dengan bu Retna. Mungkin menenangkannya atau apa, aku tak tahu pasti karena semua peserta ujian diminta untuk fokus kembali ke soal ujian.

*****

"Hai mbak, beli makan juga?" sapaku ke mbak Wita. Dia satu angkatan di program profesi, hanya saja beda kelas. Mbak Wita dulu dari S-1 jalur ekstensi, sedangkan aku jalur reguler.

"Hai Sit, iya laper ih... ujiannya ampunnn! Mikir sampai bodol juga tetap lupa semua. Pasrah deh. Mending makan hihihi, " sahutnya.

Kami duduk semeja di kantin dekat kostku. Akhirnya kami larut dalam obrolan ringan. Lumayan pengurang stres.

"Mbak, tadi bu Retna nangis di ruang ujian. Aku kaget dengarnya, " kataku.

"Iya, kasihan banget dia Sit! Aku juga nggak tega tadi. Mana aku di belakangnya. Kamu masih mending di depan. Aku lihat langsung, " ucap mba Wita lirih.

Kantin hari itu sepi. Masih jam 10.00 pagi. Hanya ada aku dan mbak Wita disana.

"Sita... " panggil mbak Wita.

"Ya mbak... " sahutku.

"Bu Retna itu seumur mamamu mungkin, dia lulus S-1 sudah lama banget, " kata mbak Wita.

"Trus kenapa nggak lanjut profesi waktu itu mba? Apa tadi nangis karena nggak bisa ngerjain soal? Selama ini bu Retna kerja dimana?" tanyaku ke mbak Wita. Aku memang penasaran dengan apa yang terjadi dengan bu Retna.

Seumur-umur baru kali ini ada mahasiswa yang tak bisa mengerjakan ujian kemudian menangis sesenggukan di ruang ujian. Ya, mungkin banyak yang seperti aku ini, tipe santai kayak di pantai. Kalau tidak bisa mengerjakan ujian dan nilai jelek, berpikir praktis : tinggal ngulang.

Kulihat mbak Wita mendengus. Dia menyuap nasinya yang terakhir. Setelah itu disesapnya es teh manis, lalu diceritakan kisah bu Retna yang dia tahu. Beberapa kali bu Rertna curcol kehidupan pribadinya saat praktikum.

Singkat cerita bu Retna adalah janda dengan 3 orang anak. Di usianya yang hampir paruh baya, beliau mengambil program profesi ini supaya bisa mengelola usaha apotek.

"Beliau cerai hidup atau mati sih, mba? Kayaknya bukan orang susah kan? " tanyaku kepo.

"Cerai mati. Almarhum suaminya punya jabatan dan kaya kok. Cuma ya gitu deh..." Mbak Wita ragu untuk meneruskan ceritanya. Aku memandangnya.

"Hmmm... ya itulah Sit. Ini kuceritakan biar jadi pelajaran buat kamu ya, " lanjutnya. Aku mengangguk.

Setelah mendengar ceritanya, aku ikut sedih. Rasanya tak bisa kubayangkan. Bu Retna dulu tak mengambil program profesi karena sudah punya calon yang mapan. Seorang yang punya jabatan dan menjamin masa depannya.

Kemudian beliau menjadi istri dan ibu rumah tangga yang baik. Harta berlimpah dan gaya hidup juga mewah. Mungkin dambaan banyak perempuan masa kini. Hidup enak dan bisa bergaya. Asisten rumah tangga juga banyak.

Suaminya berulang-kali berselingkuh di depan matanya. Beliau hanya bisa diam. Beliau sadar tak bisa apa-apa. Pergi sudah biasa dengan sopir. Makanan di rumah disiapkan oleh asisten. Bu Retna hanya bisa ke salon dan belanja sana-sini. Bahkan memasak mie instan pun tak bisa.

"Sebelum suami meninggal, mereka bercerai ya mba?" tanyaku.

"Nggak. Mereka tak pernah cerai. Bu Retna selalu mengalah. Cuma ya itu disitu jadi double-trouble ! "sahut mbak Wita.

"Maksudnya?"

"Suaminya meninggal karena serangan jantung. Ditemukan di kamar hotel, Sit! Kamu tebak sendiri, bersama siapa kira-kira, "

Aku terkejut. "Sudah, yuk balik! Mau nebeng aku nggak?" kata mbak Wita.

Aku pulang ke kost diantar mbak Wita. Di atas motor hitamnya, kami masih sempat bercerita tentang bu Retna.

"Sebenarnya ada yang lebih membuat bu Retna stress. Ketiga anaknya sudah kuliah. Semua di kampus swasta mahal dan semua sudah biasa hidup enak. Disitu susahnya, Sit!" kata mbak Wita.

"Susah juga ya mbak? " sahutku.

"Pasti. Itu ketiga anaknya bermobil semua loh. Bukan macam kita ini naik motor butut hihihi"

"Lha mbak Wita masih mending. Aku ini mahasiswa super kere, Mbak.. modal dengkul jalan kaki hahaha.. Wes angel lah kalau begitu mbak... Sedih ya?"

Motor sudah sampai di depan kostku. Aku pun turun. "Makasih, mbak Wita..." kulambaikan tangan kepada seseorang yang baik sejak dulu itu.

Menapaki tangga ke lantai 2 kost, aku masih memikirkan masalah bu Retna. Hmmm... tak terbayangkan, suami meninggal, sekarang tanpa penghasilan, anak-anak yang susah diatur dan gaya hidup yang tinggi. Di umur yang tak muda lagi harus bersusah-payah belajar untuk gelar profesi.

"Kamu harus belajar, Sita! Pokoknya belajar! Jangan sia-siakan waktumu!" tiba-tiba suara hati itu menggema dalam diriku.

Aku segera masuk kamar dan menghempas badanku ke kasur yang hampir busuk itu. Mataku melihat jadwal ujian. Hmmm... besok ujian Farmakoterapi!

*****

Hari ini yudisium program profesi Apoteker. Aku yakin lulus. Aku sudah tak sabar ingin punya gaji sendiri. Kutatap lembar pengumuman itu.

"Yes, cumlaude!" ucapku girang. Akhirnya aku bisa membahagiakan orangtuaku.

Selesai yudisium, aku langsung pulang karena ada janji dengan teman gereja. Aku berpapasan dengan mbak Wita di taman fakultas. Dia mendekatiku dan berbisik lirih sekali.

"Sit, bu Retna nggak lulus, " ucapnya. Setelah itu, dia berlalu tanpa menunggu responku.


Cikarang, 14 April 2021

Tujuh hari menjelang hari Kartini, sosok pahlawan perempuan yang punya kemauan keras untuk terus belajar.

Catatan : Semua adalah cerita fiksi. Jika ada nama dan tempat yang sama hanya kebetulan semata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun