Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Penulis Biasa

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Getir

7 Agustus 2020   11:05 Diperbarui: 7 Agustus 2020   17:21 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam ini hatiku galau gara-gara Rudi. Dialah temanku. Pria tampan dengan hidung yang mancung dengan dihiasi tahi lalat di dagu kirinya. Mengesankan ia adalah pesaing beratku sebagai lelaki.

Kesedihanku semakin dalam ketika kupandangi wajah-wajah di foto usang itu. Foto lusuh yang terpampang wajahku, Rudi dan Rani yang saling tersenyum menatap kamera.

Foto itu mengisahkan cerita manis kala itu, ketika kami berkomitmen untuk tidak saing menelikung. Laksana rembulan yang selalu saja setia berteman. Meskipun cahaya mereka sama-sama menerangi alam semesta, tapi mereka tak pernah saling merugikan satu sama lainnya.

Tapi, bagiku malam ini semua sudah berakhir. Seperti jatuh tertimpa tangga pula. Aku rela memperkenalkan Rudi pada wanita cantik jelita itu. Aku tak menduga jika suatu saat nanti kami akan saling tertambat hati pada sosok Rani. Laksana malam ini yang kini gelap dan rintik-rintik hujan mulai jatuh. Sama seperti hatiku yang begitu pahit merasakan kehilangan persahabatan ini.

Ada magnit yang sama hingga antara aku dan Rudi begitu ingin mendapatkan Rani. Sedangkan Rani selalu membuatku mencintainya meskipun Rudi telah menelikungku.

"Assalamu'alaikum." Kudengar suara beruluk salam dan mengetuk pintu.

"Wa'alaikum Salam. Siapa ya?" Tanyaku

"Aku temanmu, Rudi."  Jawab pria di depan pintu.

Dengan bimbang ia harus memilih antara membuka pintu atau membiarkannya kehujanan di luar. Ada kecewa dalam hatiku tapi aku tak bisa membiarkan sahabatku itu kehujanan. Aku tahu kalau si Rudi gampang sakit. Sedikit saja kehujanan pastilah ia masuk angin.

Akhirnya kuputuskan untuk membuka pintu. "Ya sabar." Kataku dari dalam.

Pintu kubuka, Rudi masuk rumah dengan wajah agak datar. Rambutnya basah oleh rintik hujan malam ini.

"Ada apa Rud?" Tanyaku cepat.

"Lah, kan aku biasa ke sini kok tanya?" Tanya Rudi balik.

"Gak usahlah basa-basi, dan lebih baik kita gak usah saling kenal!" Cecarku padanya. Rudi tak menjawab. Ia diam seribu bahasa.

"Kamu tahu, kenapa aku marah?" Tanyaku ketus.

"Iya, aku minta maaf. Aku juga tidak tahu kalau kamu juga mencintai Rani. Nyatanya kamu juga gak pernah bilang cinta padanya, kan?"Sergah Rudi.

"Tahu nggak kamu, bahwa kita pernah berkomitmen tidak akan saling mengganggu satu sama lain. Tidak mencintai orang yang sama, tapi kenapa sekarang kau menelikungku? Aku memang tak pernah bilang kalau aku mencintai Rani, tapi kamu kan tahu, aku sangat dekat dengannya. Sedangkan kamu?" Kata-kataku meluncur bak kereta api. Meluncur bebas seperti membuang amarah.

"Ia, kita sama-sama tidak saling terbuka. Dan aku minta maaf padamu." Rudi berusaha meredakan suasana malam itu.

"Sudahlah Rud. Mulai saat ini kita pisah saja, gak usah ada pertemanan antara kita. Kalau kamu ingin memiliki Rani, aku rela memberikan padamu. Gak apa-apa aku ikhlas. Tapi tolong, mulai detik ini pergilah sejauh mungkin. Gak usah kembali lagi dan anggap aku nggak pernah ada!"

Rudi tanpa kata melangkah cepat meninggalkanku dalam amarah. 

Setelah semua berlalu, akupun memungut foto kami bertiga dan aku bakar. 

Semua sudah terjadi. Amarahku tak terelak lagi. Seperti api yang membakar foto itu untuk selamanya seperti sikapku pada Rudi yang tak ingin lagi bertemu untuk selamanya.

End.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun