sampai tidak jadi. " pikir Amir.
Amir segera mengontak Zaki, dan dia dengan senang hati menerimanya. Tidak beberapa lama kemudian Zaki melihat ke tempat itu. Tidak butuh berlama-lama, Zaki langsung membayar kontraakannya untuk bulan pertama. Amir melongo seperti tidak percaya, seolah uang bukan masalah bagi Zaki. Zaki mengajak Amir ke kantor Telkom untuk mengambil baner gratis, ke Telkomsel juga ke XL, dan sekalian berbelanja casing hp juga charger ke Pasar Raya Padang. Amir tidak percaya semua begitu cepat berlangsung.
"Bang nanti abang yang nunggu disini ya selagi saya kuliah. Setelah saya kembali kita bisa bergantian shift. Mengenai gaji, kita bagi dua dari keuntungan ya.?" Zaki menjelaskan statusnya.
"Oke tidak masalah." jawab Amir, meski sebenarnya mengenai gaji sesuatu yang berat untuk diterima. Tapi apa masalahnya untuk dicoba siapa tahu memang jualannya ramai. Tak terasa satu bulan berlalu berjualan pulsa di konter kecil itu. Tidak ada masalah yang berarti. Semakin hari orang mengetahui bahwa Amir menjual pulsa di konter kecil di Simpang Malintang. Ada yang bisa menerimanya ada yang mencibir, mana ada orang yang sudah sarjana mau jualan pulsa hp. Amir mengabaikan cemoohan itu seolah-olah tidak pernah mendengarnya. Sesekali Zaki berada di konter di saat shift Amir, sehingga mereka berjaulan bersamaan. Mungkin semacam sidak dari Zaki untuk evaluasi hasil kerja beberapa minggu itu. Hasilnya tidak ada masalah yang berarti hanya pendingan pulsa saat di request karena servernya sedang sibuk. Salah kirim ke nomer lain jarang terjadi. Amir menyadari apa akibatnya oleh karena itu dia sangat berhati-hati memasukkan nomer hp pembeli yang mau diisi.
Sampai kemudian teman Zaki yang berperawakan aktivis kampus menghampiri Zaki ke toko, kebetulan dia memang ada di sana bersama Amir. Orang ini yang ternyata senior membujuk Zaki agar ikut Liqo', setelah sebulan terakhir Zaki vakum. Zaki mengelak dengan halus, dia harus menjaga konternya
dan berbagai alasan lainnya dia sampaikan sampai akhirnya seniornya ini menyerah dan berlalu. Amir yang memperhatikannya dari tadi berkomentar sepeninggalan senior itu kepada Zaki.
"Kenapa kamu tidak pergi saja, kan ada aku? Aku kan bisa mengisi shift mu nanti kamu bisa membayarnya dengan mengisi shift ku?" kata Amir dengan polos.
"Masalahnya bukan disana Bang. Tapi sekarang buat apa aku ikut acara gituan, matakuliah agamaku sudah lulus dapat A lagi. Kalau sekedar untuk mengaji, mengapa orang di paksa kalau dia tidak mau, kalau tidak ada sesuatunya di sana yang sekarang mungkin kita tidak tahu tapi lihat saja nanti. Toh orang tetap saja mengaji di mesjid tanpa ada paksaan. Itu kan lebih fair!"
Amir terdiam, tapi benar juga kata Zaki. Kenapa orang di paksa mengaji, toh mereka juga mengaji di mesjid. Tapi apa sesuatu yang dimaksudkan Zaki? Apa dia ada mengetahui sesuatu yang Amir tidak tahu tentang kepartaian itu? Amir tidak berani melanjutkan pertanyaannya, Amir tidak benar-benar tahu tentang Zaki yang baru ditemuinya beberapa bulan lalu.
Hari-hari berjalan seperti biasa di konter hp itu, kadang sepi, terkadang ramai. Satu kali junior Amir di perkulihan mampir untuk membeli pulsa hp nya, saat itu Amir sendiri yang melayani. Namanya Adi, tiga tahun di bawah Amir. Adi mengatakan bahwa bulan besok dia akan berwisuda. Hal ini memancing Amir dengan pertanyaan-pertanyaan usilnya.
"Lalu setelah wisuda apa rencanamu? Mau melamar? Melamar apa? pegawai, dosen, atau ngelamar orang." katanya sambil cengengesan.
"Mau lanjut S2 Da." jawab Adi polos, tersenyum tanpa menghiraukan candaan Amir.
Amir terdiam. Wah.. ini menarik pikirnya. Wajahnya berubah serius. "Mau ngelanjutkan S2 kemana?" sambung Amir dengan serius. "Ndak tau lah beberapa brosur tentang beasiswa sudah ku pelajari, tapi
1sepertinya tidak ada yang cocok. Mungkin nanti di sini saja. Kan jurusan kita baru membuka program studi S2 nya." jawab Adi.
"Lah.. memang brosur itu tawaran kemana saja?" tanya Amir penasaran. "Itu Da Ikhsan yang memberikan kepada saya dulu sebelum dia berangkat ke Spanyol, itu brosur dari Spanyol, Portugal juga Rusia."jawab Adi.
Amir teringat, Ikhsan yang dimaksud Adi adalah bekas mahasiswa Kimia satu tingkat di atas Amir, aktif dalam organisasi keagamaan kampus seperti Tomi. Posisi Tomi waktu itu adalah posisi Ikhsan pada tahun sebelumnya. Dengar- dengar memang Ikhsan sekarang berada di Spanyol melanjutkan studi S2 nya. Hubungannya dengan Adi, Ikhsan itu adalah pengasuh kelompok Liqo' Adi dan teman-teman. Dengan kata lain Ikhsan adalah Murabbi nya Adi. Sebagai Murabbi, Ikhsan berkewajiban memantau perkembangan anak asuhannya termasuk urusan pekerjaan atau studi jadi bukan hanya masalah keagamaan saja.
Amir semakin penasaran, menanyakan kesedian Adi untuk menunjukkan padanya brosur apa saja yang dimaksud itu.
"Boleh Da.. datang saja ke kos-kosan saya. Nanti saya kasih lihat." jawab Adi santai dan berlalu dari Amir.
Amir tidak sabaran berkunjung ke tempat Adi. Beberapa hari kemudian, saat itu adalah shift Zaki menjaga konter, Amir menyempatkan diri bertandang ke kos kosan Adi, tidak beberapa jauh dari konternya.
Kamarnya tidak begitu besar, tetapi bersih dan dia hanya sendiri menghuni kamar itu. Nampak bahwa Adi adalah orang yang berkelas, semua buku tersusun rapi pada tempatya, ruangannya harum, dengan dekorasi yang wajar.
"Ini Da, brosurnya." Adi memberikan tiga brosur yang dia janjikan kepada Amir.
Amir segera meraihnya tanpa berkata apa-apa. Di perhatikan satu persatu, di pelajarinya apakah mereka mensyaratkan TOEFL juga seperti yang lain atau
berapa syarat IPK yang diperlukan. Untuk ke Spanyol dan Portugal mereka mensyaratkan sama seperti negara lain. Tapi yang dari Rusia sungguh aneh, mereka tidak mensyaratkan satu apapun seperti yang lain. Yang penting jurusan yang dituju nantinya harus linear dengan jurusan sebelumnya. Uang beasiswa yang diberikannya memang kecil dengan mata uang ruble. Berbeda dengan negara lain yang menggunakan Euro atau Dolar Amerika. Ini sangat aneh pikir Amir.
"Kamu tidak tertarik dengan yang satu ini, persyaratannya gampang." tanya Amir pada Adi sambil menunjukkan brosur dari Rusia padanya.
Adi yang sudah memahami apa yang tunjukkan Amir langsung menggelengkan kepala sambil tersenyum.
"Boleh aku pinjam untuk difoto kopi ya?" tanya Amir dengan nada lirih pada Adi, takut Adi tidak akan mengizinkannya.
"Ambil saja, Da... saya tidak membutuhkannya." jawab Adi ringan.
Amir terkejut, apa Adi yakin memberikan informasi penting ini begitu saja padanya? Tapi setelah lama berbincang, ternyata benar Adi memang mengatakan apa yang dia mau katakan. Akhirnya Amir membawa brosur itu antara rasa percaya dan tidak percaya. Melihat tampilan brosurnya, bahwa ini resmi dari kementerian pendidikan Rusia, ada lambang Rusia juga di sana. Apa memang benar begitu adanya seperti yang tertulis di brosur itu?
Lama Amir mempelajari isi brosur itu. Apa dia harus memenuhi semua persyaratan yang tertulis di sana dulu atau menelpon kontak person yang ada di sana dulu?. Dia menyembunyikan brosur itu baik-baik jangan sampai ada yang melihat, apalagi di bawa ke konter, takut orang akan mengerti jalan pikirannya. Hampir satu minggu, akhirnya Amir memutuskan untuk menelphon kontak person yang ada disana. Nama yang tertulis di sana seperti nama perempuan, namun yang menjawab di ujung telepon adalah suara laki-laki.
"Selamat siang, Mbak... eh maaf Mas.. apa ini kantor Kedutaan Rusia di
Jakarta?" tanya Amir ragu-ragu.
"Iya benar, tapi disini pusat kebudayaannya.. ada yang bisa di bantu?" jawab orang di ujung telepon itu.
"Ini saya mau menanyakan beasiswa ke Rusia?" tanya Amir masih ragu. "Ini dari mana ya? Anda mendapat informasinya dari mana?
"Saya dari Padang, dari Brosur.. oh iya di kepala suratnya memang ada bertuliskan pusat kebudayaan Rusianya."
"Oh.. iya.. penuhi saja semua persyaratan yang di minta di situ, tapi untuk tahun ini, mereka yang diterima tinggal menunggu waktu keberangkatannya. Kalau Anda mau, silakan tunggu untuk periode selanjutnya, kami menerima kelengkapan berkasnya bulan Agustus tiap tahunnya untuk keberangkatan bulan Oktober tahun itu bagi yang diterima."
"Bagi yang diterima ?! Berarti ada tesnya juga ya Mas?" tanya Amir penasaran.
"Oh tentu.." jawab orang itu.
"Dan juga saat pelegkapan berkas anda harus menyertakan uang 500 000 rupiah untuk biaya administrasinya. Jika tidak lolos seleksi, uang akan kembali." sambung orang di ujung telepon itu.
Amir menelan air liurnya, darahnya mendesir. Ternyata bisa tidak lolos juga ya, pikirnya.
"Baik lah kalau begitu, saya akan melengkapi berkasnya, saat akan mengirimnya saya akan menelepon Mas lagi ya." sambung Amir menyembunyikan kegalauannya.
"Baik, tapi sebaiknya anda mengirimnya bulan Agustus saja ya, karena kalau jauh sebelum itu biasanya jadi tidak terproses oleh kami, karena banyaknya peminat." jawab orang di ujung telepon itu.
Jantung Amir makin berdebar kencang. "Ternyata ini tidak mudah juga." pikir Amir.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI