Mohon tunggu...
Mahyu Annafi
Mahyu Annafi Mohon Tunggu... Guru Ngaji

Hamba yang sedang belajar menulis, suka membaca dan menelaah berbagai pemikiran. Saya condong menulis ke dunia pendidikan, mental, politik dan isu sosial. Angkatan ke 38 di Kelas Menulis Rumah Dunia (KMRD) di Serang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perlunya Jejak Muda di Maulid Kampung Kami

27 Agustus 2025   15:19 Diperbarui: 27 Agustus 2025   15:19 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret acara rutin maulid di kampung kami. (dokpri)

Beberapa minggu ini saya sedikit punya kesibukan lain karena ditunjuk sebagai sektretaris acara PHBI di kampung kami. Acara memang tak ada baru, tak jauh seperti tahun kemarin. Cuma yang beda, kepengurusan baru. Ini tantangan sekaligus tanggung jawab menarik bagi kami kalangan muda.

Saya katakan begitu, karena biasanya acara dikelola "kalangan tua". Namun semenjak Om Panji, ketua pemuda kami, masuk kepengurusan acara, ada perubahan cukup signifikan. Karena aktivitas hariannya di birokrasi, beliau mulai membenahi kepengurusan semrawut. Yang tadinya kurang peduli dengan administrasi, di tangan dinginnya itu dikelola.

Amburadulnya pengelolaan dana yang tadinya tertutup dipublikasi secara transparan. Misalnya, pendapatannya berapa dan pengeluarannya berapa. Tidak hanya panitia tapi warga juga tahu karena nanti diberi lembaran pemberitahuan alokasi dana yang digunakan untuk acara.

Saya tentu memahami pula kenapa dulu kalangan tua tidak memberi ruang berkecimpung di kepanitiaan pada kalangan muda. Bukan tak mau, tapi mungkin belum melihat loyalitas juga kapasitas kalangan muda mengelola acara dengan serius. Bagaimana pun maulid adalah acara rutin yang dianggap sakral maka tak boleh gagal. Apa pun alasannya.

Di sisi lain kalangan muda juga ambivalen melihat ritus tersebut. Alih-alih berkecimpung secara langsung lebih memilih jadi penonton atau tim hore. Dalam waktu agak lama pergerakan belum terlihat, sedikitnya menciptakan ruang demokrasi untuk kalangan muda. Kalangan muda tidak berani face to face bicara dengan kalangan tua.

Di sini Om Panji hadir memberi jembatan untuk kami kalangan muda. kami sudah saatnya tidak lagi apatis dengan kenyataan di masyarakat. Kita bukan Sok Hok Gie yang selalu cemas dengan kekuasaan. Selalu apatis antara harus bertindak atau diam. Kita harus bergerak semampu yang kita bisa. Lebih baik bergerak sekecil apa pun daripada diam dengan pikiran besar.

 Walau pun dengan begerak belum sempurna membuat perubahan. Tak apa-apa yang penting sudah bergerak. Ini mengingatkan obrolan yang dikeluhkan tetangga baru saya, yang ia cerita di kampung halamannya mengelola acara PHBI, ya tak jauh sama seperti kami. Namun, ia melihat respon lambat warga dengan perubahan. Belum lagi anak muda yang transaksional, kalangan tua yang ambivalen dan sikap acuh yang bikin ia jengkel.

Padahal dia sudah totalitas mengelola acara tersebut, namun kenapa antusiasme warga seperti biasa. Akhirnya karena begitu jengkel tak ada kesadaran urgent di kampungnya ia melepas kepengurusan kepanitiaan dan tak lagi berkecimpung sampai sekarang. Sampai di sini saya memahami, perubahan itu bukan proyek mudah yang simsalabim langsung jadi.

Kami akhirnya diskusi cukup panjang sampai larut malam mengenai ini. Saya berpendapat perubahan ada tahapnya, tak boleh kita mengukur sukses sekarang lantas akan langsung sempurna seutuhnya, apalagi ini tatarannya masyarakat yang kualitas pemikirannya berbeda-beda. Kita harus optimis menghadapi gejala buruk agar tradisi lama yang baik terus dipelihara. baik kalangan muda maupun warga perlu di edukasi. Kita belajar pada mereka dan mereka belajar ke kita, saling belajar intinya.

Ia mengoreksi aktivitas dan gerak panitia kemarin di kampung kami yang kurang terkoordinasi. Juga sambutan lurah yang lebih banyak politis daripada relevan sama tema yang tertera, begitu sambutan dewan yang kurang paham tema juga. Selain itu mempertanyakan penceramah atau qori, apakah sudah di-breafing?

Saya jawab semuanya seperti yang saya tahu, baik dari segi teknis juga budaya yang hidup di tengah masrayarakat. Singkatnya, kampung kami sedang mengalami fase dan bertumbuh. Apa yang belum baik sebisanya di kepengurusan selanjutnya diperbaiki. Saya pikir menyalahkan bukan solusi untuk perbaikan. Kritik itu harus bisa dipahami untuk di-impelentasikan, bukan sekedar meluruskan tapi tak ada gerak nyata.

Bagi saya, kata-kata Om Panji ke saya saat diminta membantu di kepanitiaan cukup dalam, "Om mah percaya ke Mahyu. Maksudnya di kita harus ada re-generasi. Gak apa nanti kita bareng-bareng kerja," itu katanya di acara pembentukan kepanitiaan baru 2023. Sejujurnya saya kaget sekaligus bingung waktu kita.

Kalau harus memilih, lebih baik jadi penonton atau tim hore yang bisa sepuasnya menilai kinerja panitia daripada terjun bersama membenahi apa yang belum ideal. Namun saya berpikir, kalau tidak sekarang mau kapan lagi.

Poinnya sederhana, semoga saja masuknya saya ke kepengurusan itu pintu awal teman-teman muda lain mau masuk kepanitiaan. Bekerja sama mewarnai kampung kita dengan persatuan dan persaudaraan yang tulus agar lebih berwarna dan penuh cahaya. Saling menyempurnakan kekurangan dan bahu-membahu merangkul kasih. (***)

Pandeglang, 27 Agustus 2025   14.46

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun