Ziarah itu bisa mengantarkan ke musyrik, begitu adik saya bicara. Kita datang ke makam wali, tentu kita ke sana selain murni ziarah ada hajat yang mungkin kita sampaikan.
Hajat itu bagian ikhtiar kita untuk "berwasilah" kepada orang yang lebih dekat kepada Allah. Qodarullah, apa yang kita hajatkan dikabulkan Allah. Cerita ini mirip yang dialami teman adik saya itu.
Terus suatu waktu hajat dia memang terkabul. Lama-lama apa yang dihajatkan itu hempas. Dia pikir apa yang didapatkan itu "berkah" dari wali itu.Â
Siapa nyana, itu setan yang ingin "menggoyang" keyakinan pada Allah. Pemberiaan itu bentuk istidraj dari Allah sebagai bentuk kecaman, bukan berkah. Untuk itu, mencari berkah ke kuburan itu harus dipahami benar.
Dari pemaparan di atas itu saya menggaris bawahi soal "musyrik" dan "berkah" itu. Dua hal yang kerap disalah pahami oleh kalangan muda, apalagi dengan masifnya ceramah dari kalangan salafi wahabi di kanal Youtube-nya.
Mengukur seseorang musyrik atau tidaknya karena rajin ziarah, menurut saya, sederhana. Indikatornya setelahnya di rumah dia apa rajin salat atau enggak. Rajin berdo'a atau tidak.
Maksudnya gimana?
Kalau dia dihukumi musyrik seharusnya dia tidak lagi suka ibadah pada Allah yang diyakini. Nyatanya gimana. Silahkan dicek saja. Tujuan orang wasilah "menitip" karena itu jalan termudah.
Kalau dihukum musyrik, apa bedanya ia yang ingin ke pasar lantas menggunakan kendaraan. Ia yakin kendaraan itu bakal menyampaikan ia ke tujuannya. Tujuannya ia, apakah bisa disebut musyrik karena meletakan tidak lagi pada Allah?
Tentu kita punya pandangan berbeda soal ini. Tapi saya percaya, kita tetap yakin ke Allah. Pun dalam soal bertemu dengan "orang besar" bukannya kita selalu butuh "kaki tangan" yang bersangkutan agar memudahkan ingin kita.