Mohon tunggu...
Mahendra Lavidavayastama
Mahendra Lavidavayastama Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa S1 di salah satu PTS di DIY

Mahasiswa S1 di PTS di DIY yang memiliki hobi menulis dan memiliki ketertarikan dalam dunia sosial dan seputar hubungan internasional.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kebijakan Luar Negeri Indonesia dari Soekarno sampai Susilo Bambang Yudhoyono

2 April 2021   07:00 Diperbarui: 2 April 2021   07:06 4207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Hubungan Luar Negeri. Sumber Foto: freedomsiana.id

Indonesia tercatat menjadi satu dari lima negara pemrakarsa terbentuknya ASEAN (Association Of South East Nations) yang bertujuan untuk meningkatkan kerja sama ekonomi dan budaya di tingkat regional, Presiden Soeharto dianggap memiliki peran kuat sebagai pemersatu ASEAN seperti yang dikatakan Kishore Mahbubani dan Jeffery Sng dalam bukunya The ASEAN Miracle A Catalyst for Peace (2017) jika Presiden Soeharto mempunyai "extraordinary geopolitical wisdom" dengan tidak ingin mendominasi di ASEAN walaupun sebagai pemimpin negara terbesar di wilayah regional namun memberikan kesempatan bagi tiap negara untuk memimpin di ASEAN. Presiden Soeharto mengeluarkan kebijakan ekonomi berupa UU Penanaman Modal Asing pada tanggal 1 Januari 1967 sebagai upaya untuk menutupi utang-utang yang ditanggung Indonesia dampak dari UU tersebut adalah dibuka seluas-luasnya perusahaan asing yang ingin mendirikan perusahaannya di Indonesia atau membuka peluang bagi pemodal asing untuk menanamkan investasinya di Indonesia. Dalam periode 1980-an Indonesia turut andil untuk menjadi tuan rumah dalam 30 tahun KAA (1985), menjadi ketua GNB (1992), masuk ke dalam APEC (1994); dan dalam Jakarta Informal Meeting (1988).

3. Presiden B.J. Habibie (1998-1999)

Setelah periode orde baru lengser pada tahun 1998 Indonesia memasuki masa reformasi, pada periode ini Indonesia lebih berfokus kepada menstabilkan urusan domestik yang terpukul karena terdampak dari inflasi yang melanda Indonesia sehingga urusan politik luar negeri bukan menjadi prioritas bahkan dalam tingkat regional dan perundingan bilateral Indonesia pasif untuk ikut serta tetapi bukan berarti tidak ada kebijakan strategis yang diputuskan pada periode Habibie.

Tercatat beberapa kebijakan strategis yang diputuskan pada masa transisi adalah Habibie memutuskan untuk mereferendum daerah Timor Timur pada tahun 1998 melalui perundingan dan pengambilan suara (voting) setelah Timor Timur bergabung dengan Indonesia pada tahun 1975. Di dalam negeri keputusan Presiden Habibie tersebut terjadi pro-kontra sampai puncaknya nota pertanggung jawaban Habibie di tolak oleh MPR dikarenakan hal tersebut. Sisi positif dari keputusan tersebut adalah Indonesia tidak pernah terganjal terkait dengan isu Timor Timur pada forum internasional dikarenakan konflik berkepanjangan dengan Fretilin yaitu kelompok pendukung kemerdekaan Timor Timur.

Politik luar negeri Indonesia pada masa Presiden Habibie difokuskan pada sektor pemulihan ekonomi karena inflasi yang melanda Indonesia pada saat tersebut sehingga upaya diplomasi saat itu diarahkan untuk investasi dan peningkatan di bidang ekspor dengan tujuan meningkatkan devisa negara. Upaya tersebut dapat terlihat ketika Presiden Habibie melalui Menteri Luar Negeri, Ali Alatas memutuskan untuk melakukan kerjasama dengan IMF guna mencari sokongan dana untuk mengatasi inflasi.

4. Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) (1999-2001)

Setelah Presiden Habibie berhasil mengeluarkan Indonesia dari inflasi tampuk pemerintahan berpindah kepada Gus Dur, sosok presiden yang memiliki pemikiran unik hingga konon dikatakan jika tidak semua orang dapat memahami pemikiran Gus Dur baik untuk menyelesaikan permasalahan politik di dalam negeri ataupun politik luar negeri. Keputusannya perihal arah politik luar negeri Indonesia kala itu terbilang cukup berbeda dibandingkan presiden-presiden sebelumnya. Tercatat Gus Dur adalah presiden pertama di era reformasi yang melakukan kunjungan ke luar negeri sebanyak 50 negara di lima benua hal tersebut mendapat kritikan tajam dari Ketua MPR dan Ketua DPR kala itu, Amien Rais dan Akbar Tandjung beserta musuh-musuh politik lainnya yang mengatakan jika hal tersebut merupakan pemborosan APBN karena tercatat biaya yang di keluarkan sebanyak Rp. 105 miliar dan abai terhadap permasalahan domestik, namun Gus Dur yang memiliki karakter kuat dan kerap bersitegang dengan parlemen dengan sering melontarkan humor-humor yang menyindir kinerja dari parlemen menanggapi hal tersebut dengan mengatakan jika mengupayakan pamor dan eksistensi Indonesia di dunia internasional jauh lebih mahal dari harga yang dikeluarkan dari APBN serta tujuan lain dari kunjungan tersebut adalah untuk menarik investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia lagi, menginformasikan jika Indonesia dalam keadaan kondusif serta mencari dukungan dalam dunia internasional untuk meredakan konflik yang terjadi di Aceh demi  keutuhan NKRI.

Kebijakan lainnya yang dinilai cukup kontroversi adalah ketika Gus Dur berkeinginan untuk membuka kerjasama dengan Israel. Lantas kebijakan ini menimbulkan reaksi yang keras dari dalam negeri, namun menarik dibahas mengapa Gus Dur berkeinginan untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel diantaranya: ketika Gus Dur menempuh pendidikan di Baghdad beliau kagum akan keilmuwan dari Yahudi yang didapatkan dari teman beliau Ramin yang berasa dari keturunan Yahudi, kemudian keberhasilan Yahudi dalam menarik simpati Amerika Serikat dan dunia. Namun ada anggapan jika Gus Dur tidak benar-benar serius ingin membuka kerjasama dengan Israel karena beliau paham jika hal tersebut sulit untuk di wujudkan di Indonesia. Hingga saat ini Indonesia tidak pernah membuka hubungan diplomatik dengan Israel meskipun di pihak Israel sangat menginginkan membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia.

Pada periode ini juga banyak kebijakan yang mengatur mengenai kebijakan luar negeri Indonesia, salah satunya di sahkannya UU No 37 Tahun 1999 yang mengatur perihal  hubungan luar negeri.

5. Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004)

Pada periode ini Indonesia masih dalam tahap memulihkan dan menstabilkan ekonomi pasca inflasi pada tahun 1998. Megawati dalam menerapkan kebijakan terkait politik luar negeri Indonesia masih bepegang teguh dengan asas "bebas-aktif" tetapi dalam pelaksanaannya berbeda dengan Gus Dur yang menerapkan rational actor yang membuat sistem birokrasi cenderung lemah dan membuat dirinya sebagai aktor utama dalam melakukan diplomasi, dalam pemerintahan Megawati mengembalikan tugas diplomasi kepada Menteri Luar Negerinya, Hasan Wirayuda dengan mengacu kepada UU No 37 Tahun 1999 tentang kunjungan luar negeri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun