Tapi masyarakat diam.
Kita menonton DPR tidur di rapat. Kita baca berita korupsi bansos. Kita tahu proyek strategis mangkrak. Tapi kita scroll ke bawah. Lalu buka YouTube. Lalu nonton prank. Lalu selesai.
Itulah revolusi senyap: ketika kita tahu, tapi tidak peduli. Ketika kita peduli, tapi tidak bicara.
Solusi: Menghidupkan Suara-Suara Kecil
Revolusi senyap tidak bisa dihadapi dengan revolusi besar. Ia terlalu halus untuk dibalas dengan demo. Terlalu sunyi untuk dihadapi dengan orasi.
Tapi bisa dilawan.
1. Media Kecil, Suara Besar
Saya percaya pada kekuatan media lokal. Saya membangun Jawa Pos dari Surabaya, bukan Jakarta. Dan justru di situlah kekuatannya. Media lokal lebih tahu denyut masyarakat. Maka hidupkan media RT, media kelurahan, akun Instagram RW. Jangan biarkan informasi hanya datang dari "pusat".
2. Kelas Kritik Digital
Setiap sekolah, setiap pesantren, setiap komunitas, bisa bikin "kelas kritik digital". Bahas berita viral. Bedah kebijakan. Lalu ajarkan: kritik itu cinta. Jangan hanya ajarkan Pancasila dan Budi Pekerti di kertas. Ajarkan mereka cara bicara tanpa takut dibungkam.
3. Warung Kopi sebagai Parlemen Rakyat
Saya lebih percaya pada diskusi di warung kopi daripada di talkshow TV. Karena warung kopi jujur. Maka ayo hidupkan diskusi warung kopi. Bikin "Ngopi Bareng Tokoh". Undang lurah, ustaz, dosen. Bukan untuk ceramah. Tapi untuk ngobrol. Tanpa podium. Tanpa protokoler.
4. Aplikasi Demokrasi Partisipatif
Jika kita tidak percaya DPR, maka ciptakan e-parlemen lokal. Aplikasi ringan untuk RT/RW. Isinya polling, saran, diskusi warga. Pemerintah tinggal pantau. Warga tinggal klik. Revolusi digital melawan revolusi senyap.
Akhir Kata...
Revolusi senyap adalah krisis yang tidak tampak. Tapi nyata. Ia terjadi saat orang-orang baik memilih diam. Saat orang pintar memilih sibuk sendiri. Saat semua orang merasa, "Biarlah... bukan urusanku."
Tapi percayalah, diam bukan pilihan aman. Ia adalah jalan pelan menuju kehancuran.