___
Begitu petugas damkar datang, mereka tidak menemukan api. Tapi mereka tak pulang dengan tangan kosong. Mereka duduk bersama korban. Menenangkan. Menyimak. Mencatat. Mungkin mereka tak punya kewenangan hukum. Tapi hari itu, mereka menjalankan tugas yang lebih besar: menjadi manusia.
Tak lama, polisi pun bergerak. Kasus dibuka kembali. Proses penyelidikan dilanjutkan. Entah karena tekanan publik, atau karena kesadaran yang datang terlambat. Tapi setidaknya, ada gerak. Ada cahaya.
Saya tidak menulis ini untuk menyudutkan siapa pun. Polisi juga manusia. Mereka bekerja keras. Banyak juga polisi yang sungguh-sungguh ingin menegakkan hukum dan melindungi rakyat. Tapi kisah ini mengingatkan kita, bahwa kadang sistem itu lambat. Dan korban kekerasan tak bisa menunggu terlalu lama.
___
Barangkali, kita harus mulai berpikir ulang: ke mana korban harus mengadu ketika sistem tak mendengar?
Bisa jadi, ke petugas pemadam kebakaran.
Hari itu, Damkar Bekasi tidak hanya memadamkan potensi bunuh diri. Mereka menyalakan kembali harapan. Sebuah ironi yang lembut, yang hanya bisa terjadi di negeri kita ini: ketika yang datang bukan petugas hukum, tapi petugas kemanusiaan.
___
Akhirnya, saya hanya bisa menulis ini sambil menundukkan kepala. Bukan karena malu. Tapi karena saya tahu, masih banyak perempuan lain yang bernasib sama, tapi tak cukup kuat untuk menelpon siapa pun.
Semoga kisah ini menyebar. Bukan untuk viral. Tapi untuk menyadarkan kita semua: bahwa mendengar bisa menyelamatkan. Bahwa prosedur kadang harus kalah oleh empati.