Oleh Mahar Prastowo
"Kalau ada jalan cepat dan semua orang lewat sana, apakah salah si pejalan atau negara yang tidak memberi rambu?"
Seorang pedagang daring, usianya 24 tahun, kuliah sambil berjualan tas fashion. Sudah dua tahun ia terjerat Paylater. Total tagihannya hari ini: Rp12,4 juta. Sebagian besar bukan karena belanja pribadi, tapi karena "nitip" orang lain. Kakaknya, sepupunya, bahkan mantan pacar. Semuanya kabur, menunda-nunda pembayaran, dan jadinya ia yang galbay alias gagal bayar.
Kita seringkali terlalu cepat menyalahkan generasi muda sebagai konsumtif, tidak sabaran, dan tak paham prioritas. Padahal, seperti kata Karnita, dalam artikelnya berjudul Antara Klik dan Konsekuensi: Paylater dan Generasi Terlilit Nyaman, ini bukan soal moral pribadi, melainkan soal bagaimana struktur ekonomi digital bekerja: mengubah keinginan menjadi utang, lalu menyebutnya kemajuan.
Sistem yang Merawat Ketergantungan
Paylater adalah produk kredit. Tapi tidak semua yang memakainya tahu itu. Mereka melihatnya seperti top up pulsa---ringan, praktis, dan bisa dicicil. Tapi tak ada satupun dari iklan-iklan itu yang menjelaskan biaya bunga efektif tahunan. Tak ada simulasi yang menjelaskan "kalau kamu telat tiga hari, denda + bunga bisa lebih besar dari harga barangnya."
Ini bukan kebetulan. Dalam sistem ekonomi yang bergantung pada pertumbuhan konsumsi rumah tangga, orang-orang muda ini adalah "target pasar." Menurut laporan Bank Indonesia, 54,8% pertumbuhan e-commerce tahun 2023 ditopang oleh transaksi berbasis kredit digital. Bukan dari kantong penuh, tapi dari utang kecil yang makin lama menumpuk.
Fintech, e-commerce, bank digital---semuanya diuntungkan. Yang menanggung beban adalah pengguna, terutama perempuan muda yang terdesak oleh ekspektasi sosial: tampil trendi, bantu keluarga, dianggap mandiri. Mereka tak sedang foya-foya, mereka sedang bertahan dalam ekosistem yang tidak memberi pilihan.
Ketika Paylater Menjadi Fasilitas Negara
Apakah pemerintah tidak tahu? Tentu tahu. OJK mencatat nilai transaksi Paylater di Jawa Barat tembus Rp7,52 triliun di tahun 2024 lalu. Tapi seberapa aktif negara melindungi konsumen dari ilusi digital ini?
Literasi keuangan masih dianggap "tanggung jawab pribadi." Padahal, literasi bukan soal tahu atau tidak tahu, tapi soal diberi waktu dan ruang untuk memahami. Apa gunanya sosialisasi kalau dilakukan dalam bahasa yang sulit, di jam kerja, dan lewat kanal yang tidak diakses oleh targetnya?
Pemerintah, dalam banyak kasus, justru seperti melegitimasi Paylater sebagai "jalan masuk inklusi keuangan." Kita lupa, inklusi tanpa kontrol bisa menjadi pintu masuk kemiskinan baru: kemiskinan digital.
Menagih Regulasi, Bukan Cuma Edukasi
Selama ini, penyelesaian masalah Paylater selalu didekatkan ke edukasi. Tapi realitasnya: tidak semua bisa belajar cepat, dan tidak semua sadar telah masuk dalam jebakan sebelum terjerat denda. Maka yang harus kita tagih adalah regulasi.
Mengapa tidak ada aturan batas maksimal bunga Paylater, sebagaimana bunga KUR atau kredit multiguna?
Mengapa tidak ada cooling-off period---waktu tunggu sebelum transaksi Paylater bisa dikonfirmasi---agar memberi ruang berpikir bagi konsumen impulsif?
Mengapa data galbay tidak disinkronkan dengan sistem perlindungan sosial negara? Jangan sampai seseorang  ditolak bantuan sosial karena "pernah gagal bayar Rp150 ribu." Akan menjadi ironis jika negara menggunakan data utang kecil sebagai dasar menolak warga miskin dari bantuan negara.
Siapa yang Menanggung Biaya Sosialnya?
Paylater tidak hanya mengubah pola belanja. Ia menggerus kepercayaan, merusak relasi, bahkan bisa memicu kekerasan. Dalam riset Komnas Perempuan (2023), ditemukan bahwa beban utang digital menjadi salah satu pemicu konflik rumah tangga, terutama di kalangan pasangan muda.
Bahkan ketika anak muda mencoba bertanggung jawab, jalan keluarnya tidak mudah. Lembaga keuangan konvensional enggan membantu karena skor kreditnya sudah buruk. Di sisi lain, penyedia Paylater tidak memberi opsi restrukturisasi yang manusiawi. Mereka lebih cepat menagih, lebih lambat memberi solusi.
Ini bukan masalah individu. Ini adalah krisis mikro yang jika dikumpulkan, akan menjadi ledakan makro: anak muda kehilangan akses kredit, kehilangan kepercayaan sosial, dan pada akhirnya kehilangan semangat untuk menabung masa depan.
Negara Jangan Hanya Menjadi Penonton
Sebagaimana pasar membutuhkan regulasi, inovasi pun butuh batas. Paylater bisa tetap hidup, tapi harus dikawal. Harus ada transparansi total dalam informasi bunga, denda, dan risiko. Harus ada mekanisme mediasi antara pengguna dan penyedia jasa. Harus ada sanksi untuk perusahaan yang memanfaatkan ketidaktahuan konsumen.
Dan paling penting: negara harus hadir bukan sebagai juru kampanye Paylater, tapi pelindung warganya dari jebakan sistemik.
Karena kalau tidak, generasi muda kita bukan hanya kehilangan uang, tapi juga kehilangan kepercayaan pada negara yang seharusnya membela mereka.
Penutup: Dari Utang Kecil ke Krisis Sosial
Betul kata  Karnita, dalam artikelnya berjudul Antara Klik dan Konsekuensi: Paylater dan Generasi Terlilit Nyaman: "Utang kecil yang dianggap remeh, bisa tumbuh menjadi benih yang menenggelamkan masa depan."Â
Tapi jangan berhenti di sana. Pertanyaannya sekarang adalah: siapa yang menyiram benih itu, siapa yang membiarkannya tumbuh?
Karena utang bukan hanya soal uang. Ia soal struktur. Dan struktur yang dibiarkan liar akan selalu memangsa yang paling lemah.
(mp)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI