Bank DKI: Antara skema penyelamatan atau pengambilalihan tersembunyi?
Ada tiga indikator yang bisa kita lihat secara kritis:
1. Frekuensi gangguan sistem yang tidak biasa
  Jika terjadi sekali-dua kali, itu insiden. Tapi jika berulang, itu pola. Terlebih ketika hal ini tidak terjadi pada bank sekelas atau bank BUMD lainnya secara serentak.
2. Minimnya respons struktural jangka panjang dari Pemprov DKI dan manajemen
  Hingga kini tidak ada langkah drastis untuk revamp sistem IT, audit menyeluruh, atau perombakan total manajemen TI. Hal ini mencurigakan karena biasanya BUMN/BUMD akan langsung melakukan damage control yang signifikan.
3. Munculnya wacana IPO tepat di tengah krisis kepercayaan
  IPO seharusnya dilakukan saat kepercayaan publik tinggi, bukan saat bank sedang dipertanyakan kredibilitasnya. Maka IPO di saat ini hanya bisa diterjemahkan dalam satu narasi: pelepasan kontrol mayoritas oleh pemilik lama (Pemprov).
Narasi besar di balik layar
Jika dugaan ini benar, maka krisis Bank DKI bukanlah sekadar gangguan layanan, tetapi bagian dari proses delegitimasi bertahap. Lembaga keuangan yang kuat tidak bisa dirobohkan dari luar. Ia harus "dilemahkan" dari dalam, dan ditampilkan ke publik sebagai institusi yang gagal bersaing.
Selanjutnya, muncul solusi-solusi instan: merger dengan bank lain, disuntik modal oleh swasta, atau yang paling elegan: IPO. Dalam IPO, semua tampak legal, rapi, dan demokratis. Tapi di sanalah titik balik dimulai.
Siapa di balik rencana besar ini?
Sulit membuktikan. Tapi jika kita lihat kecenderungan nasional: BUMD dan BUMN yang tidak efisien sedang dijadikan target privatisasi.
Narasinya: agar kompetitif dan efisien.
Tapi realitasnya: pengalihan kendali kepada kekuatan pasar dan modal.
Pertanyaannya: apakah kita rela kehilangan satu lagi lembaga publik ke tangan swasta, hanya karena kita tidak mau membenahi akar persoalan?
Apakah Bank DKI dalam kondisi krisis? Tidak. Rawan krisis, ya.
Bank DKI belum masuk kategori krisis sistemik, tapi sedang berada dalam kondisi rawan krisis — khususnya krisis kepercayaan, krisis sistem TI, dan potensi restrukturisasi kepemilikan yang berisiko pada masa depan bank sebagai BUMD.
Indikasi bahwa Bank DKI tengah menghadapi krisis level awal atau potensi krisis sistemik internal dapat dilihat dari beberapa hal yang muncul:
1. Gangguan Layanan Berkepanjangan
Sejak 29 Maret 2025, layanan ATM, mobile banking, dan sistem transaksi Bank DKI mengalami gangguan serius. Hal ini mengganggu ribuan nasabah, khususnya ASN DKI Jakarta yang menerima gaji melalui Bank DKI, dan masyarakat nasabah Bank DKI secara umum.
2. Krisis Kepercayaan
Banyak nasabah mempertimbangkan untuk memindahkan dananya ke bank lain. Seperti ajakan Rush pada saat terjadi gangguan sistem pada lebaran lalu. Sehingga warganet  mulai menggulirkan narasi bahwa Bank DKI "tidak siap digital".
3. Ketiadaan Transparansi dan Solusi Jangka Panjang
Manajemen tidak menyampaikan secara terbuka penyebab detail gangguan ataupun roadmap pemulihan TI. Apakah tidak ada audit independen publik atau langkah tegas restrukturisasi infrastruktur TI?