Bank DKI dan Godaan Bursa: Di Ujung Jalan Monas, Menuju Bursa Efek
Oleh: Mahar Prastowo
Sudah lama Bank DKI digadang-gadang untuk melantai di bursa. Wacana itu muncul, tenggelam, muncul lagi. Tapi tahun 2025 ini tampaknya lebih serius. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberi sinyal positif. Manajemen pun sudah membentuk tim internal. Isu IPO tak lagi sekadar bisik-bisik di lorong Balaikota.
Bagi warga Jakarta, Bank DKI bukan sekadar lembaga keuangan. Ia simbol kedaulatan fiskal lokal. Ia bank pembangunan daerah (BPD) yang menjadi andalan dalam menyalurkan bantuan sosial, menggaji ASN, sampai mendanai UMKM. Tapi apakah masuk bursa --- alias go public --- langkah terbaik untuk bank ini?
Mari kita bedah dengan tenang. Bukan hanya dari sisi investor dan pemerintah, tapi juga dari perspektif publik yang lebih luas.
Mengapa Harus IPO?
Pertama-tama, alasan klasik: permodalan. Untuk naik kelas menjadi bank BUKU IV (modal inti di atas Rp30 triliun), Bank DKI butuh dana segar. Modal inti per akhir 2024 baru sekitar Rp15 triliun. Kalau hanya mengandalkan APBD dan laba ditahan, proses ini bisa makan waktu bertahun-tahun. Lewat IPO, modal bisa ditambah dalam hitungan bulan.
Kedua, good corporate governance. Masuk bursa berarti diawasi ketat oleh OJK, BEI, dan publik. Bank dituntut lebih transparan. Laporan keuangan wajib dipublikasikan. Rapat umum pemegang saham (RUPS) menjadi forum terbuka. Semua ini diyakini bisa mengurangi praktik-praktik tak sehat yang dulu sempat menodai Bank DKI, seperti kredit macet akibat titipan politik.
Ketiga, diversifikasi kepemilikan. Saat ini, hampir 100% saham Bank DKI dimiliki Pemprov DKI dan BUMD lainnya. Padahal, pembagian risiko (risk sharing) dengan swasta bisa memperkuat daya tahan bank dari guncangan fiskal lokal.
Apa Risikonya?