Bendera Setengah Tiang di Kompasiana
Oleh: Mahar Prastowo
Saya menulis. Tiba-tiba tulisan saya ditinjau ulang.
Alasannya: diduga melanggar syarat dan ketentuan.
Saya membaca ulang tulisan saya. Tidak ada fitnah. Tidak ada kebohongan. Tidak ada seruan makar. Yang ada hanya analisis. Tulisan opini. Pandangan atas fakta.
Tentang seorang ayah: mantan Wakil Presiden Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno.
Yang bicara lantang soal wakil presiden yang masih terlalu muda.
Dan tentang seorang anak: Letnan Jenderal Kunto Arief Wibowo.
Yang tiba-tiba dicopot dari jabatannya sebagai Panglima tempur di wilayah paling strategis Indonesia.
Tulisan itu diturunkan.
Padahal bukan di Kompas. Hanya di Kompasiana. Tempat warga negara biasa bisa bicara. Tempat rakyat menulis tanpa meja redaksi.
Tapi rupanya... ada meja juga di sana. Meja sensor.
Kompas tidak pernah mengaku menyensor. Mereka menyebutnya “moderasi konten.”
Kata yang lebih halus. Lebih modern. Lebih digital.
Tapi saya tumbuh besar di era ketika sebuah tulisan yang dicekal itu disebut “pembreidelan.”
Kami menyebutnya dengan jujur. Karena zaman itu tidak punya topeng algoritma.
Saya bisa paham kalau tulisan itu bernada keras.
Saya bahkan siap kalau tulisan itu ditanggapi.
Tapi yang terjadi: tulisan saya tidak ditanggapi. Ia dikubur.
Dibungkam diam-diam, tanpa debat.