Oleh: Mahar Prastowo
---
Tidak semua reuni itu suci. Tidak semua halal bihalal itu halal.
Saya tidak sedang mencurigai niat orang berkumpul setelah lebaran. Tapi sebagai wartawan tua yang sudah kenyang asam garam pergaulan, saya punya banyak cerita yang bisa membuat ustaz mengelus dada dan polisi mengelus pelipis.
Tradisi halal bihalal setelah cuti bersama Idulfitri adalah budaya khas Indonesia. Bahkan, mungkin hanya di negeri ini ada istilah itu. Dari presiden sampai pak RT, dari pejabat tinggi negara sampai pemuda geng motor, semua merasa wajib mengadakan halal bihalal. Acara yang sejatinya dimaksudkan untuk saling memaafkan, melebur dosa sosial yang mungkin terjadi selama setahun terakhir.
Tapi, namanya juga manusia. Niat baik bisa disusupi hasrat yang tak terkendali. Apalagi jika acaranya bertemu mantan, mantan gebetan, atau mantan pacar zaman SMA yang sekarang suaminya lebih sering di luar kota, dan istri lamanya sudah tidak seperti dulu lagi.
Saya pernah diundang ke acara halal bihalal alumni sebuah SMA. Di brosur digital yang mereka kirim, tertulis tema "Menyambung Silaturahmi, Menghapus Dosa Masa Lalu." Tapi entah kenapa, setelah acara itu justru ada yang menambah dosa masa kini. Bahkan muncul istilah baru di grup alumni: Halal bihalal rasa pelakor.
---
Banyak yang bilang halal bihalal itu penyucian diri. Tapi tidak sedikit juga yang menjadikannya sarana pengulangan dosa. Kadang lebih berat. Dosa digital misalnya. Salah satu yang paling umum adalah tukar-tukaran nomor WhatsApp diam-diam. Lalu lanjut "eh kabarmu piye?" dengan emotikon senyum dan hati.
Lalu mulailah dosa chatting sambil menyembunyikan layar dari pasangan. Dari chat basa-basi jadi tanya status. Dari tanya status jadi kangen masa lalu. Dari kangen masa lalu jadi ketemuan. Dari ketemuan jadi CLBK: Cinta Lama Belum Kelar. Lalu pecahlah rumah tangga. Gara-gara reuni yang mestinya cuma satu sore itu.