Mohon tunggu...
Mahar Prastowo
Mahar Prastowo Mohon Tunggu... Ghostwriter | PR | Paralegal

Praktisi Media dan co-PR -- Pewarta di berbagai medan sejak junior sekira 31 tahun lalu. Terlatih menulis secepat orang bicara. Sekarang AI ambil alih. Tak apa, bukankah teknologi memang untuk mempermudah? Quotes: "Mengubah Problem Menjadi Profit" https://muckrack.com/mahar-prastowo/articles

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Triliuner yang Mengasingkan Uang: Ketika Nasionalisme Ditinggalkan di Bandara

13 April 2025   17:04 Diperbarui: 13 April 2025   17:04 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Mahar Prastowo

OPINI - Laporan Bloomberg yang terbit Jumat (11/04) lalu bukan sekadar laporan keuangan biasa. Ia ibarat cermin retak yang menunjukkan wajah paling telanjang dari kapitalisme Indonesia: segelintir orang kaya yang begitu mapan, tapi tak punya komitmen untuk tinggal dan tumbuh bersama republik ini. Mereka memilih cara lama yang tetap ampuh---membawa kabur uangnya ke luar negeri---dengan cara baru yang makin sulit dilacak: properti lintas negara, emas fisik, dan mata uang kripto.

Jika dulu pelarian modal dilakukan secara diam-diam, kini berlangsung dengan tenang dan sistematis, dalam selimut hukum dan teknologi.

Apakah ini salah? Dari sisi hukum, belum tentu. Tapi dari sisi etika dan tanggung jawab sebagai warga bangsa, ini adalah penghianatan diam-diam yang berdampak besar.


Kapital Tanpa Komitmen

Mari kita renungkan. Apa yang sedang terjadi di negeri ini, ketika orang-orang dengan kekayaan bersih di atas Rp1 triliun tidak merasa nyaman menyimpan uangnya di bank-bank nasional? Ketika mereka lebih percaya pada apartemen di Dubai dan akun kripto di Karibia dibanding lembaga keuangan di tanah air?

Kita sering membahas ketidakpastian global---konflik geopolitik, fluktuasi kurs, dan suku bunga tinggi. Tapi kita jarang bertanya, mengapa mereka yang kaya merasa lebih tidak aman di Indonesia ketimbang di negara asing yang juga tak stabil?

Jawabannya menyakitkan. Mereka tidak percaya pada negeri ini. Dan mereka tidak merasa perlu untuk percaya, karena mereka bisa lari kapan saja.


Keputusan Rasional, Dampak Sosial

Seorang ekonom bisa saja berargumen: ini semua adalah keputusan rasional. Diversifikasi aset adalah cara melindungi kekayaan. Betul. Tapi keputusan rasional dari satu individu bisa menjadi tragedi kolektif jika dilakukan oleh banyak orang pada saat bersamaan.

Ketika ratusan juta dolar dipindahkan ke luar negeri, dampaknya langsung terasa: tekanan terhadap nilai tukar rupiah, terganggunya likuiditas, dan---pada akhirnya---pengurangan kapasitas negara untuk membiayai pembangunan. Apa yang disebut "flight to safety" oleh para konsultan keuangan, dalam kenyataannya adalah "flight from responsibility."

Mereka tidak melanggar hukum, tapi mereka meninggalkan kewajiban moral.


Siapa Mereka?

Bloomberg tidak menyebut nama. Tapi arah telunjuknya jelas: para pengusaha komoditas dan sektor keuangan, yang sudah fasih bermain di pasar global dan akrab dengan jalur-jalur gelap pemindahan kekayaan. Mereka adalah orang-orang yang menikmati surplus ekspor saat harga batu bara naik, tapi menyimpan keuntungannya di rekening luar negeri. Mereka menyambut baik insentif fiskal, tapi menghindari pajak lewat skema offshore yang rapi.

Ironisnya, nama-nama mereka mungkin terpajang di ruang-ruang CSR, masjid, universitas, bahkan partai politik. Tapi kontribusi mereka untuk stabilitas ekonomi nasional---nol besar.


Di Mana Negara?

Yang paling memprihatinkan: tidak ada reaksi keras dari pemerintah. Tak ada penyelidikan terbuka, tak ada inisiatif mengejar data lebih lanjut. Seolah negara sudah menyerah pada kekuasaan uang.

Padahal, kita bukan negara kecil. Kita punya UU Anti Pencucian Uang. Kita punya perjanjian pajak internasional (AEOI). Kita punya Bank Indonesia dan OJK. Tapi semua itu tidak berarti apa-apa jika tak digunakan untuk melawan fenomena seperti ini.

Kwik Kian Gie pernah berkata, "Ekonomi bukan sekadar angka. Ia adalah cermin dari pilihan politik dan nilai-nilai sosial yang kita anggap penting." Dan apa yang terlihat hari ini, adalah bahwa sebagian elite ekonomi kita telah memilih nilai yang bertentangan dengan cita-cita republik ini.


Jalan ke Depan

Negara harus berhenti menjadi penonton dalam drama pengasingan modal ini. Transparansi pajak harus ditingkatkan, data keuangan lintas negara harus ditindaklanjuti, dan yang paling penting: kita harus kembali menanamkan kesadaran bahwa kekayaan besar datang dengan tanggung jawab besar pula.

Jika tidak, kita akan terus menyaksikan yang kaya makin tak terjangkau, yang miskin makin tertinggal, dan republik ini hanya jadi halte sementara sebelum mereka naik jet pribadi menuju "tempat yang lebih aman."


[]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun