Oleh: Mahar Prastowo
OPINI - Laporan Bloomberg yang terbit Jumat (11/04) lalu bukan sekadar laporan keuangan biasa. Ia ibarat cermin retak yang menunjukkan wajah paling telanjang dari kapitalisme Indonesia: segelintir orang kaya yang begitu mapan, tapi tak punya komitmen untuk tinggal dan tumbuh bersama republik ini. Mereka memilih cara lama yang tetap ampuh---membawa kabur uangnya ke luar negeri---dengan cara baru yang makin sulit dilacak: properti lintas negara, emas fisik, dan mata uang kripto.
Jika dulu pelarian modal dilakukan secara diam-diam, kini berlangsung dengan tenang dan sistematis, dalam selimut hukum dan teknologi.
Apakah ini salah? Dari sisi hukum, belum tentu. Tapi dari sisi etika dan tanggung jawab sebagai warga bangsa, ini adalah penghianatan diam-diam yang berdampak besar.
Kapital Tanpa Komitmen
Mari kita renungkan. Apa yang sedang terjadi di negeri ini, ketika orang-orang dengan kekayaan bersih di atas Rp1 triliun tidak merasa nyaman menyimpan uangnya di bank-bank nasional? Ketika mereka lebih percaya pada apartemen di Dubai dan akun kripto di Karibia dibanding lembaga keuangan di tanah air?
Kita sering membahas ketidakpastian global---konflik geopolitik, fluktuasi kurs, dan suku bunga tinggi. Tapi kita jarang bertanya, mengapa mereka yang kaya merasa lebih tidak aman di Indonesia ketimbang di negara asing yang juga tak stabil?
Jawabannya menyakitkan. Mereka tidak percaya pada negeri ini. Dan mereka tidak merasa perlu untuk percaya, karena mereka bisa lari kapan saja.
Keputusan Rasional, Dampak Sosial
Seorang ekonom bisa saja berargumen: ini semua adalah keputusan rasional. Diversifikasi aset adalah cara melindungi kekayaan. Betul. Tapi keputusan rasional dari satu individu bisa menjadi tragedi kolektif jika dilakukan oleh banyak orang pada saat bersamaan.