Hai sobat Senja, ketemu lagi sama gue Radit di Gerhana Bulan---program spesial buat kamu yang lagi putus cinta, insomnia, butuh teman curhat, atau cuma mau dengerin kismis sampe tengah malam. Pantengin terus hanya di 207,2 YM - SENJA KISS RADIO, The Romantic and Sad Radio.
Gimana nih suasana malam di tempat Lo. Masih gerimis, masih pilu atau banjir perasaan di hati. Yang bareng selingkuhan semoga cepet ketauan; yang masih jomblo santuy aja. Malam ini, gue temenin.
Yang mau ikut gabung di obrolan malam kita bisa langsung kirim cerita, request lagu, atau salam lewat SMS di 089654059435 atau bisa banget mention ke Instagram kita di @senja_kissym.
***
Lagu berikutnya mulai mengalun, tapi udara mendadak berat. Ada yang beringsut dari sudut gelap, menyeret napas bersamaku.
Tiga detik, tiga tetes darah ibu jariku membercak. On-Air Light. Kegelapan menelan ruang studio, sungguh. Rindu merah. Rindu.
Otot jantungku berkontraksi lebih cepat. Aroma lavender dan kematian menguapkan laut kenangan.
Aku menghitung mundur:
100, 91, 63, 24, -10
Bunga plastik memekik riuh ke suara-suara terdalam yang tak pernah sampai pada telinganya, dua puluh tahun lalu. Bunga itu memimpikan satu warna paling mendunia: merah. Tapi empat liter darahku bukan peta yang bisa membebaskan siapa pun.
Suasana pH pencernaanku hambar, dingin.
Aku meraih tombol tuang. Sekian jenak terperangah; jariku tak mampu menggerakkan mesin kopi otomatis.
Kring... Kring... Kring...
Notifikasi WhatsApp tak dikenal +62812950630 muncul:
"Dewi hamil, Radit!" (Sender: Irene)
Aku menatap layar, rasanya waktu melambat, dan jenak studio seperti mengambang---antara masa lalu dan kenyataan yang tak pernah ia duga.
Gila. Mana mungkin Dewi mengandung. Seingatku, terakhir dia bercinta lima tahun lalu, tiga hari menjelang akhir cinta kami. Hobinya melihat ketinggian membuat dia sulit menemukan pasangan yang seturut fantasi seksualnya.
September 2001. Keluarganya menikahkan Dewi dengan pengusaha tambang. Aku gelisah, menangis semalaman. Aku bertaruh dia mencari cara cerdas demi menerangi batin suaminya tanpa bersenggama.
Kenangan itu menekan dada, menariknya mundur ke masa lalu, sebelum malam ini meruntuhkanku.
"Menyimpang! Sistem dunia ini masih waras?" tukas aku di depan Ibu usai mengurai duduk perkaranya. Sejak meninggalkan kantor, sakit kepalanya makin brutal.
"Wujud kenyataan yang dikenali kesadaran manusia adalah bagian ketidakterbatasan pandangan," suara Sang Ibu terdengar lemah. Sambil menyisir Boneka Ayah yang baru dimandikan, ia melanjutkan: "Tapi pandangan tak lagi penting bagi kita. Kamu trauma, makanya menyoal pandangan melulu. Jika pandangan dibentur jarak tak berpuan, bisa apa?"
Aku memutuskan mencari Dewi.
Â
***
Langkahku tenggelam di kabut malam, studio dan lampu merah tinggal bayangan.
Udara dingin, baris pepohonan, lolongan anjing, menggigit kening dalam gusar. Lampu mobil membelah kabut, kesepian.
Speaker mobil berdentang: gitar akustik tersengal, bas drum mengguncang. Musik itu memikat-menegangkan, aroma kemesraan ikut menguar.
Tiba di sebuah gedung tua, bekas operasional Perusahaan Tambang tahun 1950-an. Mataku tertuju pada pintu besi tua yang gemboknya sudah terbuka. Dahulu, gudang ini penuh berlian.
Tujuh meter dari pintu utama, aku melihat jelas Mama, Irene, dan Ferdi sibuk mengelap muntah dari bibirnya.
***
Aku terguncang. Dewi memberiku pemandangan tak lazim. Dia seperti seniman jalanan, sibuk menggambar sketsa kasar untuk lukisan yang diagendakan pameran internasional.
Medianya: pria terlentang, dada berotot jadi kanvas. Ia melukis bunga matahari di putingnya, cat merah membaur, mencipta kekacauan absurd, bau besi dan cat menempel di kulitku, membuat perut mual sekaligus terhipnotis.
Sesekali ia menoleh ke atas, tawanya meledak.
Kakiku membatu. Aku ingin menghentikan adegan itu. Astaga. Kepalaku sakit, tulang jiwaku meluang.
Tiba-tiba, potongan ingatan merampas kesadaran dan kenyataan.
Kemarin, aku dihadang harimau putih. Kehilangan kendali setir, mobil terjun ke jurang. Aku mati---dada terluka oleh dahan runcing pohon tua.
Aaaa... Aku melihat Ibu tak bergerak, air matanya membersihkan kolam hitam di kebun belakang rumah.
Sakit jiwa, Dewi. Hobimu bercinta dengan mayat di kubur setiap tanggal ganjil makin bersinar terang.
Hanya...
Aku sudah jadi mayat, tapi aku masih menyaksikan. Dan Dewi... ia menikmati sisa denyut dagingku, tenang, seakan setiap getar terakhirku ia genggam untuk dirinya, hingga keheningan sendiri tampak bersekongkol dengannya--seperti gerhana melahap suaraku.
***
Musik Referensi:
Untuk membangun mood lebih dalam dan menyatu dengan cerpen ini, silahkan Kompasianer dengarkan lagu di bawahÂ
Saat berkendara. Rasakan sendiri, kemesraan-kehororan yang menjeratku dan Dewi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI