***
Langkahku tenggelam di kabut malam, studio dan lampu merah tinggal bayangan.
Udara dingin, baris pepohonan, lolongan anjing, menggigit kening dalam gusar. Lampu mobil membelah kabut, kesepian.
Speaker mobil berdentang: gitar akustik tersengal, bas drum mengguncang. Musik itu memikat-menegangkan, aroma kemesraan ikut menguar.
Tiba di sebuah gedung tua, bekas operasional Perusahaan Tambang tahun 1950-an. Mataku tertuju pada pintu besi tua yang gemboknya sudah terbuka. Dahulu, gudang ini penuh berlian.
Tujuh meter dari pintu utama, aku melihat jelas Mama, Irene, dan Ferdi sibuk mengelap muntah dari bibirnya.
***
Aku terguncang. Dewi memberiku pemandangan tak lazim. Dia seperti seniman jalanan, sibuk menggambar sketsa kasar untuk lukisan yang diagendakan pameran internasional.
Medianya: pria terlentang, dada berotot jadi kanvas. Ia melukis bunga matahari di putingnya, cat merah membaur, mencipta kekacauan absurd, bau besi dan cat menempel di kulitku, membuat perut mual sekaligus terhipnotis.
Sesekali ia menoleh ke atas, tawanya meledak.
Kakiku membatu. Aku ingin menghentikan adegan itu. Astaga. Kepalaku sakit, tulang jiwaku meluang.