Hari ini, hampir semua momen hidup kita bisa direkam dan diunggah. Dari hal sepele seperti kucing takut sama timun, sampai hal serius seperti kecelakaan di jalan raya. Sayangnya, sekolah pun ikut terseret ke dalam budaya ini. Ruang kelas yang seharusnya jadi tempat belajar, kini sering berubah jadi panggung konten.
Coba ingat, berapa kali kamu lihat video murid dipermalukan di kelas, guru marah besar lalu direkam diam-diam, atau murid jadi korban bullying yang kemudian viral di TikTok atau Instagram?
Awalnya mungkin terlihat “seru.” Ada yang menanggapinya dengan berbagai komentar, ada yang menambah meme, ada juga yang sekadar menyebarkan tanpa berpikir panjang. Lama-lama, masyarakat terbiasa menonton itu. Kita nyaris kebal. Seolah-olah hal itu normal.
Padahal, setiap kali ada yang menekan tombol rekam di ruang kelas, ada nyawa, perasaan, dan masa depan anak-anak yang dipertaruhkan.
Fenomena Normalisasi Video di Sekolah
Fenomena ini makin nyata. Video murid ribut di kelas lalu diunggah ke TikTok. Video guru kehilangan kesabaran tersebar di Instagram. Video murid di-bully beredar luas di WhatsApp Group.
Konten-konten ini terus membanjiri layar kita. Dan yang lebih berbahaya, semakin banyak orang menganggap hal ini wajar.
“Ah, direkam biar guru kapok.”
“Gapapa, biar viral aja, seru kan.”
“Ya sudah, namanya juga anak-anak sekarang.”
Pernah dengar kalimat-kalimat seperti itu? Inilah yang disebut normalisasi. Sesuatu yang salah, tapi karena sering terjadi dan sering ditonton, lama-lama dianggap biasa. Dampak negatifnya apa?