Ada satu pertanyaan yang sering muncul. Saya sebut ini pertanyaan sejuta umat. "Setelah Kejaksaan Agung menyita uang hasil korupsi, kemana uang itu pergi sampai akhirnya masuk ke rekening negara?"
Ada banyak kasus, tapi salah satu kasus kakap adalah Kejagung menyita Rp 11,880 triliun dari kasus korupsi ekspor CPO Wilmar.Oke, siap? Kita tengok prosesnya dulu ya...
1. Penetapan Penyidikan / Proses Hukum Dimulai
Sebelum uang disita, ada proses hukum yang harus dilalui. Pertama, polisi atau instansi penyidik mulai penyidikan bila ada laporan atau indikasi korupsi.
Setelah penyidikan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Kejaksaan Agung atau Kejaksaan tingkat lain mengajukan tuntutan di pengadilan.
Jika pengadilan memutus bahwa ada kerugian negara, tuntutan uang pengganti, dan atau ada keputusan penyitaan, maka Jaksa memiliki dasar hukum untuk menyita aset (termasuk uang) terdakwa.Â
Contohnya dalam kasus Wilmar, penuntut umum melaporkan kerugian negara berdasarkan audit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan kajian dari Fakultas Ekonomi UGM.Â
2. Penyitaan Uang dan Penetapan Izin Pengadilan
Setelah ada tuntutan, Jaksa mengajukan izin penyitaan ke pengadilan negeri yang menangani perkara. Pengadilan harus mengeluarkan penetapan izin penyitaan.Â
Tanpa izin tersebut, penyitaan tidak legal. Contoh, penyitaan Rp 11,88 triliun dari Wilmar dilakukan atas izin dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.Â
Uang yang disita diserahkan kepada pihak Kejaksaan. Tapi ingat, "sita" belum selalu berarti sudah permanen di Kejaksaan. "Sita" di sini artinya masih dalam pengawasan proses hukum (termasuk banding/kasasi jika ada).Â
3. Penitipan Uang Hasil Sitaan di Bank Persepsi
Setelah disita, Kejaksaan tidak menyimpan uang hasil sitaan di rumah atau kantor fisik. Uang itu dititipkan di rekening penitipan di bank persepsi. Bank persepsi adalah bank yang ditunjuk oleh negara untuk menerima setoran negara, menyimpan uang negara, dan lain sebagainya.Â