Kenyataannya? Bisa jadi dia cuma lagi rebahan sambil scroll timeline, tiba-tiba liat notifikasi dari kamu, terus bales sekadar biar gak numpuk. Bisa juga dia lagi nunggu antrian warteg dan butuh hiburan.
Masalahnya, otak kita sering ngegas duluan sebelum fakta lengkap terkumpul. Kita baca nada yang gak pernah ditulis, merasakan emosi yang sebenarnya gak ada, lalu menganggapnya valid. Akhirnya, baper.
2. Algoritma Dopamin yang Kejam
Setiap kali notifikasi dari "si dia" muncul, otak kita langsung memproduksi dopamin, hormon yang bikin kita merasa bahagia, puas, dan pengen lagi. Efeknya mirip saat menang game online, menemukan diskon 90%, atau makan martabak keju ekstra susu.
Masalahnya, dopamin ini adiktif. Begitu terbiasa dapat balasan cepat, otak kita menganggap itu "normal baru." Kalau sehari saja chat berkurang, kita langsung resah. Rasanya mirip orang nunggu paket COD yang katanya "sudah dibawa kurir" tapi gak sampai-sampai.
Akhirnya, kita mulai mengaitkan kebahagiaan dengan frekuensi dan kecepatan balas chat. Padahal hubungan sehat seharusnya diukur dari kualitas komunikasi, bukan jumlah notifikasi per jam.
3. Norma Baru, Balas Cepat Artinya Peduli!
Dulu, zaman surat-menyurat, proses komunikasi itu penuh kesabaran. Mengirim surat cinta bisa memakan waktu berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Balasan datang? Wah, itu momen langka yang dirayakan dengan bunga dan senyum seminggu penuh.
Sekarang? Kalau bales lebih dari lima menit, langsung ada pikiran-pikiran random.
"Dia udah nggak mau chat sama gue, ya?"
"Jangan-jangan dia chat sama orang lain."
"Apa aku bilang sesuatu yang salah?"
Padahal, alasan klasik seperti "lagi di toilet," "lagi makan," atau "lagi meeting" seringkali lebih benar ketimbang teori konspirasi yang otak kita bikin.