Mohon tunggu...
Mutia Ramadhani
Mutia Ramadhani Mohon Tunggu... Mutia Ramadhani

Certified author, eks-jurnalis ekonomi dan lingkungan, kini berperan sebagai full-time mom sekaligus novelis, blogger, dan content writer. Founder Rimbawan Menulis (Rimbalis) yang aktif mengeksplorasi dunia literasi dan isu lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Sisi Lain Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta di Balik Senja

2 Juli 2025   13:19 Diperbarui: 14 Agustus 2025   11:33 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore itu, sekitar pukul empat, Jalan Malioboro masih dipenuhi keramaian. Rombongan turis lokal dan mancanegara berlalu-lalang, pedagang kaki lima menjajakan dagangan, dan lalu lintas yang padat tak terelakkan.

Di tengah hiruk-pikuk khas Yogyakarta, kendaraan kami melaju mantap menuju titik nol kilometer, tepatnya ke sebuah bangunan tua yang telah berdiri sejak abad ke-18 bernama Museum Benteng Vredeburg, atau dikenal juga sebagai Vredeburg Fort Museum.

Memasuki kawasan Benteng Vredeburg, kami lihat rombongan pengunjung di dalam satu per satu justru keluar dari area benteng. Ya, sesi kunjungan siang di benteng penuh sejarah itu sudah berakhir.

Kini, tiba saatnya sesi kunjungan malam yang berlangsung pukul 16.00-20.00 WIB. Kami sengaja memilih kunjungan malam karena ingin merasakan suasana berkunjung ke museum dengan cara berbeda. Ternyata, keputusan kami tak salah.

Langit berganti warna menjadi jingga, lalu perlahan menggelap. "Night at Museum" adalah sesuatu yang baru dari museum ini setelah direvitalisasi. Dan percayalah, suasananya jauh berbeda. Lebih magis, lebih hidup, dan seolah menyimpan bisikan sejarah yang menunggu untuk diceritakan.

Taman Patriot Benteng Vredeburg (Foto: Docpri)
Taman Patriot Benteng Vredeburg (Foto: Docpri)

Senja di Benteng Vredeburg

Begitu memasuki gerbang utama, kami disambut dua meriam besar yang menghadap lurus ke arah Kraton Yogyakarta. Bukan kebetulan. Konon, ketika benteng ini dibangun pada tahun 1760 oleh Belanda, posisinya memang sengaja dibuat untuk memantau dan, jika perlu, menyerang kraton. Strategi kolonial klasik, tampil seolah menjaga, tapi diam-diam mengancam.

Saat lampu-lampu taman menyala, suasana berubah seperti masuk ke dunia lain. Pendar cahaya di antara bangunan bata kapur, tembok setebal dua meter, dan pepohonan tua yang menjulang, menciptakan suasana yang sulit dijelaskan. Bukan menyeramkan, tapi menggugah rasa penasaran.

Anak-anak kami yang biasanya cepat bosan kalau diajak ke museum, justru malam itu jadi paling semangat. Kami minta didampingi seorang guide karena memang kami ingin tahu seluk beluk Benteng Vredeburg ini sedetail mungkin.

Anak-anak kami pun terkagum-kagum melihat video mapping yang diproyeksikan ke dinding benteng, menampilkan metamorfosis sejarah benteng dari era kolonial hingga masa kemerdekaan.

Jelang senja di Benteng Vredeburg (Foto: Docpri)
Jelang senja di Benteng Vredeburg (Foto: Docpri)

Suasana magis di Benteng Vredeburg (Foto: Docpri)
Suasana magis di Benteng Vredeburg (Foto: Docpri)

Sejarah yang tak lekang oleh waktu

Sejarah berdirinya Benteng Vredeburg tak bisa dipisahkan dari momen penting kelahiran Kasultanan Yogyakarta. Ketika Sri Sultan Hamengku Buwono I mulai membangun kraton pada 9 Oktober 1755, kawasan itu perlahan tumbuh menjadi pusat kekuasaan yang megah.

Setelah kraton berdiri, menyusul dibangun pula bangunan pendukung seperti Pasar Gedhe, Masjid Agung, alun-alun, hingga sistem tata kota yang tertata rapi.

Kemajuan kraton yang begitu pesat rupanya memicu kekhawatiran Belanda. Mereka mulai merasa bahwa kekuasaan Sultan yang semakin menguat bisa menjadi ancaman di kemudian hari. Maka, dengan dalih menjaga keamanan kraton dan sekitarnya, Belanda mengusulkan pembangunan sebuah benteng di dekat kraton.

Namun tentu saja, alasan itu hanyalah taktik diplomasi. Tujuan utama mereka bukan melindungi Sultan, melainkan mengawasi setiap gerak-geriknya.

Letak benteng yang hanya sejauh tembakan meriam dari kraton, serta posisinya yang menghadap langsung ke jalan utama menuju pusat kerajaan, memberi sinyal kuat bahwa benteng ini adalah simbol kontrol, intimidasi, dan siap digunakan untuk serangan bila sewaktu-waktu Sultan membangkang.

Pembangunan awal dimulai tahun 1760, tapi bentuknya masih sederhana. Belanda belum puas. Pada tahun 1767, Gubernur Pantai Utara Jawa yang berkedudukan di Semarang meminta izin kepada Sultan agar benteng diperkuat.

Permintaan itu dikabulkan, dan di bawah pimpinan Gubernur Johannes Sioeberg, benteng rampung dibangun pada 1787, dengan nama Rustenburgh yang berarti "tempat istirahat."

Ironis memang. Nama yang adem, tapi maksudnya strategis. Rustenburgh kemudian berkembang pesat. Namun, Gempa besar yang mengguncang Yogyakarta pada tahun 1867 merusak sebagian bangunannya. Setelah dilakukan pemugaran di masa pemerintahan Herman Willem Daendels, nama benteng pun diubah menjadi Vredeburg, yang berarti "perdamaian."

Saat Jepang masuk tahun 1942, benteng digunakan sebagai kamp tahanan dan markas Kempetai. Lalu ketika Indonesia merdeka, dan Belanda kembali menyerang dalam Agresi Militer II, benteng ini menjadi target utama Serangan Umum 1 Maret 1949. Tembok-tembok ini pernah menyimpan senjata, strategi perang, bahkan harapan kemerdekaan.

Lingkungan Benteng Vredeburg yang memiliki berbagai fungsi pada zaman perang kemerdekaan (Foto: Docpri)
Lingkungan Benteng Vredeburg yang memiliki berbagai fungsi pada zaman perang kemerdekaan (Foto: Docpri)

Benteng Vredeburg dibangun dengan maksud tersembunyi Belanda (Foto: Docpri)
Benteng Vredeburg dibangun dengan maksud tersembunyi Belanda (Foto: Docpri)

Diorama yang kini lebih hidup

Sebelum direvitalisasi, Benteng Vredeburg hanya berupa ruangan-ruangan dengan diorama statis, patung lilin, dan label teks panjang yang jujur saja, dulu rasanya membosankan. Tapi kini, semuanya berbeda.

Ada empat ruang diorama sejarah. Dioramanya disulap menjadi instalasi digital yang interaktif. Ada layar sentuh, efek suara 3D, dan narasi pemandu virtual yang bisa diakses lewat QR code.

Ketika kami memasuki ruangan yang menggambarkan peristiwa 1 Maret 1949 misalnya, anak-anak bisa mendengar rekaman suara Soeharto muda memberi aba-aba serangan. Suara tembakan, sorakan, dan alarm membuat sejarah terasa sangat dekat.

"Ini kayak game sejarah ya, Bun!" kata putri saya yang duduk di bangku kelas 3 SD. Dan saya pun tersenyum. Museum ini berhasil menjembatani dunia digital anak-anak masa kini dengan akar sejarah bangsa.

Salah satu sudut diorama di Benteng Vredeburg (Foto: Docpri)
Salah satu sudut diorama di Benteng Vredeburg (Foto: Docpri)

Wisata malam di museum

Salah satu yang paling berkesan dari kunjungan malam ini adalah atmosfernya. Tidak ada kesan angker sama sekali. Justru suasana malam memberi sentuhan romantis dan reflektif.

Sambil menyusuri Bastion dan menatap bintang di langit, kita bisa membayangkan bagaimana benteng ini pernah menjadi tempat persembunyian, strategi, bahkan penyiksaan.

Jika lelah, pengunjung bisa beristirahat sejenak di Cafe Rustenburg yang kini menjadi bagian dari fasilitas baru di area museum. Menyeruput kopi lokal sembari duduk di bawah pohon tua yang diterangi lampu-lampu gantung, terasa seperti menikmati sejarah dengan cara yang santai. 

Ada juga museum shop yang menjual merchandise unik bertema perjuangan nasional, mulai dari pin, tote bag, hingga replika meriam.

Meriam peninggalan Belanda di Benteng Vredeburg (Foto: Docpri)
Meriam peninggalan Belanda di Benteng Vredeburg (Foto: Docpri)

Edupark, Taman Patriot, dan ruang bermain anak

Revitalisasi museum ini bukan sekadar make-up luar. Isi dan fungsinya pun diperbarui total. Kini, Benteng Vredeburg juga memiliki edupark dan taman patriot, ruang terbuka hijau yang bisa jadi tempat belajar sambil bermain. Ada ruang anak di mana mereka bisa menggambar, bermain puzzle sejarah, dan berinteraksi dengan staf edukator yang ramah. 

Di dekat area musala, ada taman bermain anak yang sangat cocok untuk mereka bermain, mulai dari seluncuran, monkey bar, jungkat-jungkit, ayunan, rumah kelinci untuk hide and seek, dan sebagainya.

Tidak ketinggalan, ada co-working space bagi pengunjung muda yang ingin bekerja sambil menikmati atmosfer sejarah. Museum ini seperti memeluk semua generasi, dari anak kecil yang ingin bermain, remaja yang ingin bikin konten-konten Instagramable, hingga orang tua yang ingin bernostalgia.

Jadwal dan Tiket Kunjungan

Museum Benteng Vredeburg kini buka setiap hari. Dari Senin hingga Kamis pukul 08.00-20.00 WIB, dan Jumat hingga Minggu pukul 08.00-22.00 WIB. Sesi siang pukul 08.00-16.00 WIB, sementara sesi malam 16.00-20.00 WIB. 

Tiket masuknya pun masih sangat terjangkau. Untuk wisatawan domestik, harga tiketnya sekitar Rp15.000 pada hari kerja dan Rp20.000 pada akhir pekan dan hari libur nasional. Sementara itu, wisatawan mancanegara membayar Rp25.000 pada hari kerja dan Rp40.000 pada akhir pekan dan hari libur nasional. 

Kami sangat menyarankan, jika ingin mendapatkan pengalaman maksimal, datanglah sekitar pukul 18.00, ketika langit mulai gelap dan lampu-lampu museum mulai menyala. Jangan lupa bawa kamera, karena banyak sudut fotogenik yang cocok untuk dijadikan konten.

Rasakan pengalaman berbeda di Vredeburg pada malam hari (Foto: Docpri)
Rasakan pengalaman berbeda di Vredeburg pada malam hari (Foto: Docpri)

Alunan Musik Klasik di Vredeburg

Puas berkeliling museum kami kembali menyusuri area bastion yang terletak di sisi timur museum, dekat tembok tinggi yang dulunya menjadi menara pengintai. Di sinilah langkah kami terhenti sejenak, karena terpesona oleh alunan musik yang mengalun lembut dari kejauhan.

Ternyata, di bawah lampu temaram dan rindangnya pepohonan tua, sekelompok pelajar dari Sekolah Menengah Musik (SMM) Yogyakarta tengah menggelar mini orkestra.

Dengan kostum formal dan alat musik gesek yang mengilap, mereka memainkan komposisi klasik dari Mozart, Beethoven, Johann Sebastian Bach, Joseph Haydn, hingga Frederic Chopin dan Antonio Vivaldi.

Alunan nada dari biola, cello, dan piano berpadu harmonis, menciptakan suasana syahdu yang nyaris tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Di antara tembok benteng yang dulu menjadi saksi pertempuran, kini justru mengalun musik damai yang menjembatani masa lalu dan masa kini.

Seolah semesta sengaja mempertemukan dua dunia, yaitu derap kaki para pejuang di masa lalu, dan langkah lembut anak-anak bangsa yang kini merayakan kemerdekaan dengan harmoni.

Beberapa pengunjung tampak ikut duduk bersila, hanyut dalam musik yang membawa mereka berkelana ke masa Eropa klasik. Saya melirik anak saya yang biasanya tak tahan lama duduk diam, tapi malam itu dia terpaku menyaksikan para musisi muda memainkan "Spring" dari Vivaldi. 

Benteng Vredeburg menghadirkan 4 ruang diorama interaktif (Foto: Docpri)
Benteng Vredeburg menghadirkan 4 ruang diorama interaktif (Foto: Docpri)

Tips seru berkunjung ke museum malam hari

Kunjungan museum saat malam hari kini menjadi tren wisata baru yang makin digemari di berbagai kota. Tidak lagi sekadar tempat belajar sejarah, museum malam hari menghadirkan pengalaman berbeda. Lebih tenang, estetik, dan kadang terasa magis. 

Agar kunjunganmu makin maksimal, yuk simak beberapa tips berikut.

1. Pilih museum yang sudah menyediakan layanan malam hari

Tidak semua museum buka hingga malam. Cek jadwal operasional resmi lewat situs web atau media sosial museum yang ingin kamu kunjungi. Misalnya, Museum Benteng Vredeburg di Yogyakarta kini buka hingga pukul 22.00 pada akhir pekan dan menyediakan berbagai atraksi malam seperti air mancur menari dan video mapping.

2. Datang saat golden hour

Waktu terbaik untuk tiba di museum malam adalah sekitar pukul 17.00--18.00, ketika langit mulai temaram tapi suasana masih cukup terang untuk foto-foto outdoor. Kamu bisa menikmati transisi suasana dari sore ke malam sambil berburu momen estetik.

3. Kenakan pakaian nyaman dan rapi

Karena biasanya kamu akan banyak berjalan, pilih sepatu dan pakaian yang nyaman. Tapi tetap rapi ya, karena suasana museum malam biasanya lebih elegan dan banyak spot Instagramable. Jangan lupa bawa jaket ringan jika cuaca dingin.

4. Bawa power bank dan kamera

Pencahayaan museum malam sering kali dramatis dan artistik. Sayang banget kalau dilewatkan begitu saja. Pastikan baterai ponsel atau kamera terisi penuh, dan jangan lupa bawa power bank agar bisa terus dokumentasi sepuasnya.

5. Ikuti tur atau gunakan panduan digital

Beberapa museum menyediakan pemandu khusus atau sistem audio guide yang bisa kamu akses lewat QR code. Ikuti tur jika ada, karena suasana malam justru membuat cerita sejarah terasa lebih hidup dan membekas.

6. Nikmati, jangan terburu-buru.

Jika berkunjung ke musem malam hari, jangan buru-buru mengejar semua spot, tapi tenang menikmati suasana, menghayati sejarah, dan membiarkan imajinasi berjalan. Duduk sejenak, amati diorama, atau dengarkan musik latar, biarkan waktu berjalan lambat. Slow living sejenak, boleh dong!

Guide menjelaskan sejarah-sejarah di Museum Benteng Vredeburg (Foto: Docpri)
Guide menjelaskan sejarah-sejarah di Museum Benteng Vredeburg (Foto: Docpri)

Refleksi di Akhir Kunjungan

Saat keluar dari museum, putri saya yang duduk di kelas 3 SD kembali bertanya dengan wajah penasaran. "Bun, waktu sakit paru-paru, Jenderal Soedirman beneran masih perang ya? Kok bisa kuat gitu?"

Saya mengangguk, sedikit merinding juga saking kagumnya dengan perjuangan Jenderal Soedirman yang diceritakan tour guide kami. "Iya, Nak. Beliau tetap memimpin perang gerilya dari atas tandu, padahal paru-parunya tinggal sebelah. Jenderal Soedirman semangat karena dia cinta tanah air."

Malam itu, Museum Benteng Vredeburg menyentuh rasa kami, membuka ruang dalam diri kami untuk merenung dan bertanya. Anak-anak kami tidak lagi melihat perjuangan sebagai cerita lama, tapi sebagai sesuatu yang hidup dan layak dipahami.

Melalui kunjungan malam ke Museum Benteng Vredeburg, kami sekeluarga berwisata sambil menemukan momen untuk mendekat kepada sejarah, menghargai perjuangan, dan menyadari betapa mahalnya kemerdekaan. Sejarah bukan sekadar masa lalu yang usang. 

Di tempat ini, sejarah terasa hidup, menyapa, dan mengajak kita untuk tidak melupakannya. Jadi, kalau kamu sedang di Jogja dan mencari cara baru menikmati malam, bukan di kafe, bukan di pusat belanja, datanglah ke Museum Benteng Vredeburg. Rasakan sendiri bagaimana gelap malam justru bisa menyalakan cahaya dari masa lalu.

Karena kami datang saat weekend, Vredeburg tutup lebih lama hingga pukul 22.00 WIB. Anak-anak langsung menunjuk-nunjuk air mancur menari yang berubah warna mengikuti alunan musik sebagai persembahan terakhir malam itu.***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun