Mohon tunggu...
mad yusup
mad yusup Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menggemari nulis, membaca, serta menggambar

tinggal di kota hujan sejak lahir hingga kini menginjak usia kepala lima

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Serbia, Samaria, dan Ego Kita

30 Januari 2024   13:16 Diperbarui: 30 Januari 2024   13:19 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya suka mencandai teman yang keturunan Serbia dengan menyebutnya sebagai orang Samaria yang baik (The Good Samaritan). Merujuk pada kisah perumpamaan (parabol) yang diceritakan Yesus. "Padahal kamulah orang Samaria itu karena mau berteman dengan saya," kelakarnya membalas gurauan tersebut.

Kisah orang Samaria yang baik adalah kisah yang sangat populer di kalangan saudara-saudara Kristiani kita. Bagaimana aplikasi nyata dari mengasihi 'sesama' itu. Peduli pada sesama itu. Yakni mengasihi sesama manusia, bukan sebatas mengasihi sesama yang sama dengan (kelompok/golongan) kita.

Dalam Ensiklopedia Britannica, disebutkan bahwa komunitas Samaria menyebut diri mereka sebagai Bene Yisrael (anak-anak Israel), atau Shamerim (orang-orang yang taat kepada lima kitab pertama Perjanjian Lama/Pentateukh). Sementara orang Yahudi menyebutnya sebagai kaum Kutim, merujuk pada keturunan Cuthaean Mesopotamia yang menetap di Samaria setelah penaklukan Asiria.

Pertentangan antara golongan Samaria dan Yahudi telah berlangsung sejak abad ke-6 SM hingga masa Perjanjian Baru. Kaum Yahudi menganggap bahwa kaum Shomronim (Samaria) tidak lagi murni berdarah Israel karena merupakan hasil pernikahan campur antara orang Israel dengan orang non-Israel (goyim).

Sebaliknya kaum Samaria sendiri menabalkan diri mereka sebagai bangsa Israel asli dari keturunan suku Yusuf dan suku Levi.


Permusuhan kedua komunitas itu meruncing pasca pengasingan/pembuangan Babilonia. Kelompok Samaria mendirikan bait suci di Gunung Gerizim, sementara kaum Yahudi membangun bait suci-nya di Gunung Sion.

Puncaknya ketika penguasa Makabe, Johanes Hyrcanus (135/134-104 SM) yang menjadi pemimpin Yahudi waktu itu, menghancurkan bait suci kaum Samaria di Gunung Gerizim.

Meski kedua komunitas itu sama-sama saling klaim sebagai bangsa Israel, namun rendahnya penghargaan orang Yahudi terhadap orang Samaria itulah yang menjadi latar belakang kisah orang Samaria yang baik (Lukas 10:25-37).

                     ***

Kisah orang Samaria ini diangkat Yesus sebagai jawaban atas pertanyaan pemuka agama Yahudi yang sebenarnya tidak tulus. Sekedar hanya ingin menguji Sang Mesiah di depan khalayak.

Sebelumnya, Yesus membenarkan apa yang diucapkan sang ahli Taurat itu tentang setiap orang hendaknya mengasihi Allah dan juga mengasihi sesamanya. Lalu siapakah sesamanya itu? Lanjut si pemuka agama.

Yesus pun mengajak sang ahli Taurat untuk merenungkan kisah anak manusia yang tertimpa musibah namun tidak ditolong oleh sesama kaumnya. Sesama golongannya sendiri. Manusia malang itu adalah seorang Yahudi yang terluka akibat dirampok ketika tengah melakukan perjalanan. Tubuhnya dibuang begitu saja di tepi jalan berdebu dan panas usai dirisak dan dianiaya sedemikian rupa.

Tubuh Yahudi malang itu tetap tergolek lemah tak berdaya sekalipun seorang Imam Yahudi melintas di jalan itu. Pun juga ketika seorang Levi, suku yang dikhususkan untuk melayani tempat bait suci.

Apakah kedua pemuka agama itu takut mengambil resiko menolong orang yang belum mereka kenal? Orang Yahudi-kah atau Samaria-kah dia? Atau, mungkinkah keduanya sangat sibuk dan tergesa-gesa untuk suatu urusan yang lebih penting? Hingga tak menganggap perlu untuk menolong orang yang terluka di tepi jalan. 

Sampai akhirnya lewatlah orang Samaria dengan keledainya. Demi melihat ada seseorang yang membutuhkan pertolongan, dengan segera dia membantunya. Bahkan mencarikan penginapan sekaligus memberikan bekal yang diperlukan untuk perawatan orang Yahudi yang bernasib malang itu.

                    ***

Lalu apa kaitannya dengan orang Serbia yang diceritakan di awal tulisan?

Adalah sekitar bulan Mei 2020, selepas salat magrib ada telepon masuk. Di layar telepon tertulis kata Australia. Ternyata dari teman yang belasan tahun tak pernah bertemu muka. Bertanya kabar dan kondisi keluarga.

Rupanya, pemberlakuan lockdown, karantina, atau PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di sini akibat wabah pandemi Covid-19 membuat dia teringat dengan saya. Apakah masih bisa bekerja atau tidak? Mendapat bantuan dari pemerintah atau tidak? Begitu tahu saya sudah resign kerja, malam itu juga dia kirim bantuan keuangan.

Alhamdulillah, Allah memberi rezeki yang tak terduga datang lewat tangan orang Australia berdarah Serbia itu.

                    ***

Perkenalan saya dengan bule Slavia itu terjadi di pertengahan tahun 1990-an. Tahun memanasnya sentimen kalangan Muslim terhadap orang Serbia. Begitu pun sebaliknya. Hal itu dipicu oleh peperangan antara etnis Serbia dengan Muslim Bosnia pasca pecahnya negara federasi Yugoslavia. Terutama akibat genosida yang dilakukan tentara Serbia saat menduduki Srebrenica pada tahun 1995. Di mana 8.000 Muslim Bosnia dibunuh secara sistematis dan menjadi pembunuhan massal terburuk di Eropa sejak akhir Perang Dunia Kedua (BBC News Indonesia, 11/7/2020).

Meski lahir dan tumbuh besar di Australia, namun secara psikologis tak mudah baginya menepis stereotip ke-Serbia-annya ketika harus menyebut nama saat memperkenalkan diri dengan orang Muslim seperti saya, ujarnya saat itu.

                    ***

Bagi saya, dia bak orang Samaria yang baik. Bagaimana tidak? Masih membekas dalam kenangan, kalau main ke pantai  -di mana saja- dia akan selalu membawa beberapa karung di bagasi mobil. Dan setiap sore kita memunguti sampah, terutama plastik dan beling lalu dibuang ke tempat pembuangan sampah (TPS) dalam perjalanan pulang. Bahkan dia pernah menghentikan mobil hanya gara-gara saya membuang bungkus permen yang tak seberapa itu dari balik jendela mobil.

Pun dengan keahliannya sebagai tukang listrik selalu membuatnya 'tergelitik' untuk membetulkan kabel-kabel listrik di rumah-rumah penduduk yang dilihatnya tidak safety.

                    ***

Kepeduliannya yang mungkin bagi sebagian orang sepele, tetapi itu menunjukkan bagaimana perbedaan (ras, agama, budaya, bangsa) tak menjadi hambatan. Bukan penghalang untuk berbuat pada sesama.

Sementara di antara kita masih saja ada yang tersandera ego dengan perbedaan yang sifatnya sesaat. Sekedar berbeda pilihan dalam pesta politik lima tahunan saja, tak jarang kita 'memasang tembok' pemisah. Layaknya tembok primordial antara kita dengan mereka. Antara kelompok kita dengan kelompok mereka.

Lucunya, ketika para kandidat yang kita dukung sudah makan-makan bersama, kita masih tetap saling tak suka.

Semoga di ajang pesta demokrasi sekarang ini, sekat tembok pemisah itu tak terbangun kembali. Seperti halnya kisah orang Samaria yang tak terhalang sekat ego primordial untuk mengasihi sesama.

Bogor, 30 Januari 2024        

 

  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun