Mohon tunggu...
mad yusup
mad yusup Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menggemari nulis, membaca, serta menggambar

tinggal di kota hujan sejak lahir hingga kini menginjak usia kepala lima

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dinasti, Monarki, dan Demokrasi

19 Januari 2021   02:07 Diperbarui: 19 Januari 2021   07:26 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

     Pada prinsipnya, di dunia modern sekarang ini bentuk pemerintahan itu terbagi dua: republik dan monarki atau kerajaan. Umumnya dipahami bahwa bentuk negara republik sudah pasti demokratis, sedangkan monarki dianggap "belum demokratis" karena masih dianutnya garis keturunan alias dinasti. Padahal fakta menunjukkan ada beberapa varian dalam teknis pelaksanaan pemerintahan yang kadang paradoksal. Misalnya sebuah negara yang mengaku republik tapi "bercita rasa" monarkis, sementara ada negara bercorak monarki yang bernuansa republik.

Prinsip dan Siklus Kekuasaan

     Tatkala manusia berevolusi dari kehidupan nomaden menjadi menetap, mulailah prinsip kekuasaan atas wilayah berperan. Seperti hewan yang juga mempunyai batas kekuasaan teritorialnya, maka manusia pun semakin lama semakin memperluas batas wilayahnya. Suatu hal yang tak dilakukan oleh para hewan. Prinsipnya tetaplah survival, yakni  pemenuhan akan kebutuhan hidup. Mulai dari makanan, hunian, pakaian, hingga perhiasan! 

     Dengan prinsip itulah terjadi aneksasi. Penguasaan suatu wilayah oleh satu kelompok atas kelompok lainnya. Yang akhirnya memunculkan hegemoni. Baik secara politik, sosial, maupun budaya. Hal itu berlangsung terus-menerus sepanjang peradaban manusia. Survival of the fittest sebagai naluriah purba manusia berkelindan dengan capaian ilmu pengetahuan yang menjadi anugerah para homo sapiens atas makhluk lainnya.

     Thomas Hobbes (1588-1679), seorang filsuf Inggris dengan jitu mengutip Plautus (184 SM) yang menyebut perilaku itu lewat jargon: homo homini lupus, yakni manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Meski Hobbes juga memunculkan istilah: homo homini socius, yang berarti manusia adalah teman bagi manusia lainnya.

     Dengan tameng ideologis sebagai dalih, para homini lupus ini saling berebut tahta, harta, hingga makhluk serupa "Renata". Dan buku-buku sejarah hingga buku kitab suci mencatat episode jatuh bangunnya sebuah kekuasaan. Dari yang membawa peradaban sampai yang mendatangkan kehancuran. Prinsip sejati kekuasaan sendiri sesungguhnya adalah bagaimana mempertahankan kekuasaan itu sendiri.

     Ibnu Khaldun (1332-1406), seorang sosiolog, ekonom, dan sejarawan muslim terkemuka dari Tunisia, membagi 5 (lima) tahapan atau fase suatu kekuasaan. Pertama, fase konsolidasi, di mana kekuasaan didukung oleh rakyatnya. Hal ini biasanya terjadi pasca pengambilalihan kekuasaan dari penguasa sebelumnya. Kedua, fase tirani atau otoriter yang kerap dilakukan untuk mempertahankan kekuasaannya bahkan juga kepentingan keluarganya. Ketiga, fase sejahtera, di mana penguasa membangun negara tanpa ada gangguan dari pihak yang mengancam kekuasaannya. Keempat, fase puas diri, saat penguasa merasa puas dengan capaian yang telah dibangun pendahulunya. Kelima, fase mubazir atau pemborosan di berbagai hal. Di masa ini penguasa menjadi perusak warisan sebelumnya. Pada tahap inilah negara tinggal menunggu keruntuhannya.

Dari Dinasti ke Demokrasi

     Dalam karya monumentalnya, Mukadimah, Ibnu Khaldun menyebut bahwa manusia adalah makhluk politik (zoon politicon) sekaligus makhluk sosial (homo socius). Di mana manusia akan selalu membutuhkan orang lain dalam mempertahankan kehidupannya. Dan menjadi sebuah keniscayaan atau pun keharusan untuk hidup dalam kelompok. Yang semakin lama semakin membesar hingga membentuk komunitas masyarakat.

     Dalam organisasi yang bernama masyarakat ini dipilih-lah seseorang sebagai wazi, yaitu individu yang diberi otoritas pengendali untuk mengatur kehidupan bermasyarakat. Sang pengendali ini pun lalu dibantu oleh beberapa orang (menteri) serta dilengkapi dengan tentara yang kuat dan setia (loyal) untuk menopang kebijakannya. Itulah cikal bakal lahirnya daulah atau dinasti dan bentuk pemerintahan monarki/kerajaan.

     Sebagai "manusia terpilih" dalam suatu komunitas yang bernama kerajaan, secara sosiologis dan psikologis akhirnya menghantarkan kedudukan raja pada tingkat yang bahkan menjadikannya sosok yang tak lagi profan. Cenderung disucikan. Disakralkan sampai dengan keturunannya.  Strata sosial pun menjadi tak terpisahkan dalam corak budaya monarkis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun