Malu dan Kemaluan: Sebuah Tinjauan Bahasa
Oleh: M. Tauhed Supratman
Kata malu dan kemaluan dalam bahasa Indonesia memiliki hubungan yang menarik dari segi linguistik, semantik, dan budaya. Meskipun berasal dari akar kata yang sama, keduanya berkembang menjadi leksikon dengan makna yang sangat berbeda. Analisis ini akan membedah kedua kata tersebut dari sudut pandang morfologi, semantik, dan konotasi budaya.
Kata malu merupakan kata dasar yang berarti perasaan tidak nyaman, tersipu, atau takut dihakimi akibat suatu tindakan. Sementara itu, kemaluan dibentuk melalui proses afiksasi dengan penambahan prefiks ke- dan sufiks -an, yang sering mengindikasikan suatu tempat, alat, atau hal yang abstrak. Namun, dalam kasus ini, sufiks -an justru mengarah pada makna yang lebih konkret: organ intim manusia.
Perubahan makna ini menunjukkan bagaimana proses morfologis tidak selalu linier. Malu bersifat abstrak (perasaan), sedangkan kemaluan menjadi lebih fisik (bagian tubuh). Fenomena ini juga terjadi dalam kata lain seperti tahu (memahami) dan ketahuan (terbongkar), di mana afiksasi mengubah makna secara signifikan.
Dalam perkembangannya, kemaluan mengalami spesialisasi makna yang sempit, yakni merujuk pada alat kelamin. Pergeseran ini mungkin dipengaruhi oleh norma sosial yang menganggap pembicaraan tentang organ intim sebagai hal yang tabu, sehingga diperlukan kata yang lebih halus. Bahasa Indonesia cenderung menggunakan bentuk berafiks untuk menyamarkan makna vulgar, seperti payudara (dari dada) atau kemaluan (dari malu).
Di sisi lain, kata malu tetap netral dan luas penggunaannya. Ia bisa merujuk pada rasa sungkan ("Saya malu bertanya"), kesopanan ("Jangan malu-malu!"), atau bahkan kritik sosial ("Tak tahu malu!"). Sementara kemaluan hampir selalu terkait dengan anatomi tubuh, kecuali dalam konteks sastra atau metafora.
Dalam budaya Indonesia, malu sering dikaitkan dengan nilai moral, seperti sopan santun dan harga diri. Ungkapan "jaga malu" berarti menjaga kehormatan diri. Sebaliknya, kemaluan jarang dibicarakan secara terbuka karena dianggap privasi atau aib. Ini mencerminkan bagaimana bahasa menyesuaikan diri dengan norma masyarakat.
Pemisahan makna ini juga terlihat dalam sastra dan agama. Kata malu dipuji sebagai sikap terpuji (misalnya dalam cerita-cerita religius), sementara kemaluan hanya dibahas secara tersirat atau dengan diksi lain seperti aurat.
Dari paparan di atas, terlihat bahwa malu dan kemaluan adalah contoh menarik dari bagaimana bahasa berkembang melalui morfologi, semantik, dan tekanan budaya. Meski berasal dari akar yang sama, keduanya terpisah oleh konotasi dan fungsi sosial. Malu tetap abstrak dan universal, sementara kemaluan menjadi istilah khusus yang dibentuk oleh tabu dan kebutuhan akan kesopanan linguistik. Dengan demikian, bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga cermin nilai-nilai masyarakat---seperti bagaimana kita memisahkan yang publik (malu) dan yang privat (kemaluan) dalam kata-kata.
Dalam perkembangan penggunaan kata "malu" muncul ungkapan "malu-malu kucing". Kata ini sering dipakai untuk menggambarkan sikap seseorang yang berpura-pura enggan, padahal sebenarnya ingin. Tapi apakah ini berarti kucing---atau binatang lain---benar-benar punya rasa malu? Dan jika binatang bisa malu, apakah itu tanda mereka juga punya iman, seperti dikatakan Ustadz Abdul Somad (UAS, https://vt.tiktok.com/ZSkCANrXL/) bahwa "malu adalah cabang dari iman"?