Mohon tunggu...
Choirul Rosi
Choirul Rosi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Cerita kehidupan yang kita alami sangat menarik untuk dituangkan dalam cerita pendek. 🌐 www.chosi17.com 📧 choirulmale@gmail.com IG : @chosi17

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | O Re Piya Re (Cintaku)

3 Februari 2020   10:11 Diperbarui: 3 Februari 2020   10:09 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : pinterest.com/Monica Bhide | diedit pribadi

Perempuan pembangkang adalah aib, oleh karenanya ia pantas untuk dibunuh.

***

Bakhtaja melihat gadis itu tak bergerak dalam genangan darah, tenggorokannya telah tersayat oleh pisau bedah dengan presisi yang sangat luar biasa.

 Bakhtaja menarik napas dalam-dalam. Matanya berkaca-kaca. Beberapa detik kemudian jatuhlah butiran airmatanya. Ia menangis dalam guyuran hujan yang cukup deras malam itu. Gadis itu telah mati di tangannya.

Allahabad - India,

 Kebahagiaan keluarga itu kian lengkap. Hadirnya seorang bayi mungil nan cantik seolah adalah berkah dari Tuhan. Suara tangisan bayi bercampur dengan tangis haru ayah dan ibunya. Sebuah kalung perak dengan liontin berinisial huruf D melilit leher bayi itu.

 "Bakhtaja, akhirnya kita memiliki anak. Dia sangat cantik seperti dirimu." bisik Deepak.

 "Kau benar suamiku. Tuhan mengirimnya untuk kita."

 Kamar itu terasa seperti surga. Kehadiran malaikat kecil bernama Deepali telah mengubah segalanya.

 Deepali tumbuh dewasa, karir Deepak dan Bakhtaja makin menanjak.Ayah Deepali kini dipercaya sebagai kepala bagian pembedahan di Rumah Sakit Pragati. Setahun setelahnya, mereka pindah ke sebuah pemukiman mewah di daerah Katra Road Allahabad. Sebuah pemukiman untuk kalangan elit di Allahabad.

 Begitupun dengan pendidikan Deepali, Deepak memindahkannya ke institusi terbaik di kota itu. Universitas Kamla Nehru menjadi pilihan Deepak untuk putrinya.

 "Deepali, cepatlah sedikit. Kushal telah menunggumu diluar dari tadi." ucap Bakhtaja dari balik pintu kamar Deepali.

 "Sebentar Bu, katakan kepada Paman Kushal untuk menungguku tujuh menit lagi. Aku harus mengeringkan rambutku dulu."

 "Baiklah anakku, cepat ya."

 "Iya Bu."

 Hari-hari Deepali lebih banyak dihabiskan bersama Kushal. Sopir keluarga Deepak itu sudah beertahun-tahun  bekerja untuk keluarga Deepak. Hubungan Deepali dan Kushal sudah seperti ayah dan anak. Pria 45 tahun itu sudah menganggap Deepali seperti putri kandungnya yang ia tinggalkan di Shahjahanpur. Karena tekanan ekonomi, Kushal mencari pekerjaan di Allahabad. Hingga langkah kakinya berakhir dirumah keluarga Deepak.

 "Nona, kita sudah sampai."

 "Iya Paman. Nanti sore jemput aku seperti biasa. Dan jangan lupa untuk membeli laddu di tempat biasanya."

 "Baik Nona."

 Sore itu seperti janji Kushal, ia telah menunggu Deepali di depan gerbang kampusnya. Dengan sabarnya ia menunggu anak majikannya itu. Hingga akhirnya ia bisa melihat Deepali dari dalam mobil. Ia berjalan beriringan bersama temannya keluar dari kampus.

 "Siapa dia Nona?"

 "Dia temanku Paman. Kami adalah teman satu jurusan. Kebetulan kami sedang ada proyek penelitian di kampus. Dia bernama Bharath. Satu-satunya mahasiswa muslim dari Sidharth Nagar."

 "Ooh..."

 "Ngomong-ngomong laddunya sudah Paman beli?"

 "Sudah Nona, ini laddu pesanan Nona," ucap Kushal sambil menyerahkan sebungkus plastik yang ia ambil dari jok depan mobil.

 "Terimakasih Paman."

 Mobil sedan hitam itu melaju cepat meninggalkan kampus Universitas Kamla Nehru. Tepat saat matahari bersinar agak redup, mereka tiba dirumah. Sambil membawa tas dan bungkusan laddu, Deepali bergegas memasuki rumahnya. Sedangkan Kushal memasukkan mobil itu di halaman rumah.

 Beberapa menit kemudian Deepali keluar rumah dan duduk di teras sambil membawa sepiring laddu dan dua cangkir teh panas.

 "Paman Kushal, cepatlah kemari. Ayo kita makan laddu ini bersama-sama." teriak Deepali.

 "Sebentar Nona, saya tutup pintu gerbang rumah dulu." balas Kushal.

 Mereka berdua mengobrol banyak. Saling berbagi cerita masing-masing. Hanya ada mereka berdua dirumah yang cukup besar itu.

 Sesekali Kushal memeluk dan mengelus rambut Deepali karena ia sudah menganggapnya seperti anak kandung sendiri. Hanya kepada Deepalilah ia melepaskan kerinduan akan putrinya yang ia tinggalkan di Shahjahanpur. Setahun sekali mereka bertemu.

 Suasana akrab dan hangat tercipta diantara dua orang beda generasi itu. Hingga tak terasa waktu telah sore.

 "Maaf Nona, sudah hampir jam 5. Saya harus menjemput Tuan dan Nyonya di kantor."

 "Iya Paman, jangan terlambat lagi. Jangan sampai ayah memarahimu seperti kemarin."

 "Nona benar, saya tidak mau kehilangan pekerjaan ini. Hidup istri dan anak saya bergantung kepada saya. Apa jadinya mereka jika saya kehilangan pekerjaan ini."

 "Baiklah paman. Cepatlah berangkat. Aku juga harus mandi. Paman jangan lupa mengunci pintu gerbang."

 "Baik Nona. Saya pergi dulu."

 ***

 Deepak dan Bakhtaja selalu pulang malam. Karena tuntutan kerja di rumah sakit yang sangat padat, mereka jarang berkomunikasi dengan Deepali. Pertemuan mereka hanya sebatas lewat pesan teks. Selebihnya mereka bertatap muka hanya di akhir pekan. Itupun jarang terjadi mengingat pasien Deepak dan Bakhtaja yang terkadang membutuhkan mereka untuk melakukan operasi pembedahan yang dijadwalkan oleh pihak rumah sakit di akhir pekan.

 "Paman, apakah salah jika aku menyukai seseorang?" tanya Deepali suatu sore.

 "Tidak ada yang salah. Itu manusiawi Nona,"

 "Tapi Paman..." ucap Deepali terputus. Tatapan matanya hampa.

 "Tapi apa Nona? Dia tidak menyukai Nona?"

 "Bukan Paman, aku takut dengan ayah. Paman tahu sendiri kan kalau ayahku seorang yang menjunjung tinggi kehormatan keluarga? Ayah tidak mengizinkan aku berhubungan terlalu akrab dengan orang lain. Sekalipun ia teman di kampusku."

 "Paman juga tahu jika kita bisa berbicara berdua seperti ini saat ayah tidak ada dirumah,"

 "Iya Nona, saya paham maksud Nona. Tapi Nona jangan membenci ayah Nona. Karena itu semua demi kebaikan Nona sendiri. Tidak ada orangtua di dunia ini yang memilihkan sesuatu yang buruk untuk anaknya."

 Deepali menceritakan kedekatannya dengan Bharath kepada Kushali. Sejak mereka  mendapat tugas untuk menangani proyek kampus, pertemuan diantara keduanya makin sering terjadi. Komunikasi terjalin diantara mereka berdua. Namun itu hanya sebatas hubungan pertemanan saja. Tidak lebih. Kushal hanya bisa diam mendengarkan curahan hati Deepali. Ia hanya bisa menyediakan telinganya untuk mendengarkan cerita-cerita Deepali.

 Tiba-tiba mereka dikagetkan oleh suara pintu yang dibanting. Dalam posisi masih duduk berdua di kursi sofa, Deepali dan Kushal menoleh kearah sumber suara itu. betapa kagetnya mereka saat melihat Deepak berdiri tidak jauh dari mereka.

 "Apa yang kalian berdua lakukan? Jadi selama aku tidak dirumah, kalian berduaan seperti ini? Sangat memalukan!" ucap Deepak dengan nada tinggi.

 "Tapi ayah, kami tidak melakukan apapun. Kami hanya ngobrol saja. Tidak lebih." ucap Deepali.

 "Nona benar Tuan, kami tidak melakukan apapun. Saya sudah menganggap Nona seperti anak saya sendiri."

 "Diam, kau hanya sopir keluarga ini. Sebagai sopir kau harus tahu diri. Dia anakku. Dia masih gadis. Jika tiba-tiba ada orang yang mengetahui perbuatan kalian berdua, mau ditaruh dimana kehormatan keluargaku?" ucap Deepak marah.

 "Ayah...."

 "Deepali, masuk ke kamarmu. Cepat. Bakhtaja, bawa anakmu masuk ke kamarnya. Dan kau Kushal, kali ini aku bisa menerima alasanmu. Mengingat jasamu terhadap keluarga ini, aku akan memaafkanmu."

 "Terimakasih Tuan." jawab Kushal. Lalu ia pergi kedalam.

 Kemarahan Deepak bukan tanpa alasan. Sebagai seorang kepala keluarga, ia benar-benar menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi yang telah diwariskan oleh keluarganya. Bahwa seorang wanita harus menjaga kehormatan keluarganya. Seorang wanita harus menjaga diri dimanapun ia berada. Membatasi pergaulannya dengan orang yang bukan pasangannya.

 Saat ia melihat Deepali dan Kushal berduaan dalam keadaan yang kurang menyenangkan di matanya, saat itulah kemarahannya memuncak. Jika bukan karena Bakhtaja yang meredam kemarahan Deepak, ia sudah mengusir Kushal. Jika Deepak mau, ia bisa saja membunuh Deepali. Meskipun ia adalah darah dagingnya sendiri.

 ***

 Kemarahan Deepak perlahan mulai sirna. Kehidupan dalam keluarga itu berjalan seperti biasa. seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

 "Maaf Tuan, mungkin hari ini saya agak terlambat menjemput Tuan ke kantor."

 "Mengapa?" tanya Deepak singkat sambil membaca koran di tangannya.

 "Saya harus menjemput Nona di kampus. Nona Deepali minta dijemput agak sore. Karena hari ini ada kegiatan di kampus hingga sore."

 "Baiklah, aku bisa pulang naik taksi. Lebih baik kau jemput Deepali saja. Jaga dia baik-baik. Aku tidak mau ia bergaul dengan orang yang salah." perintah Deepak. Ekspresi serius nampak di wajahnya.

 "Baik Tuan."

 Hubungan Deepali dan Kushal kini mulai sedikit renggang. Mereka hanya mengobrol saat berada didalam mobil. Saat Kushal mengantar Deepali ke kampus. Saat itulah mereka bisa leluasa berbicara dan tertawa bahagia bersama. Tanpa ada Deepak. Tanpa ada rasa takut sedikitpun.

 "Paman, aku sangat bahagia sekali. Terimakasih telah mendengarkan ceritaku." jawab Deepali sambil tersenyum kepada Kushal.

 "Sama-sama Nona, semoga proyek Nona di kampus berjalan lancar." jawab Kushal pelan. Lalu ia tersenyum balik kepada Deepali. Seorang gadis Allahabad yang memiliki lensa mata kecoklatan dan rambut hitam sebahu itu.

 Hari itu hujan turun sejak sore, rintik-rintik tidak begitu deras. Namun cukup membuat orang malas untuk keluar rumah.

 Sore itu setelah rapat bersama Bharath, Deepali akhirnya pulang dengan membawa dua map berisi berkas-berkas penelitian yang harus ia selesaikan malam ini. Ia turun didepan gerbang rumahnya setelah Kushal membukakan pintu mobil untuknya.

 "Aku turun disini saja, Paman tidak perlu keluar mobil." ucap Deepali.

 "Baik Nona, saya langsung berangkat menjemput Tuan dan Nyonya di kantor. Pakailah payung ini Nona. Diluar masih hujan." jawab Kushal sambil memberikan sebuah payung hitam yang ia ambil dari bawah kursinya.

 "Terimakasih banyak Paman."

 Setelah membersihkan badan, Deepali masuk kedalam kamarnya. Mempersiapkan berkas penelitiannya diatas meja kamarnya. Lalu ia mulai memeriksa berkas itu satu-persatu.

 ***

 Sesuai janjinya, Kushal tiba di Rumah Sakit Pragati sesuai jadwal. Ia menghubungi ponsel Deepak untuk memberitahu kedatangannya.

 Beberapa menit kemudian, Deepak dan Bakhtaja terlihat keluar dari pintu utama rumah sakit itu. Kushal keluar dari mobil dan membawakan tas kerja Tuannya.

 "Bawalah Laddu ini, sudah lama aku tidak membawakan makanan kesukaan Deepali."

 "Baik Tuan, pasti Nona senang dengan laddu ini." jawab Kushal singkat.

 Mereka lalu pergi meninggalkan rumah sakit saat waktu menunjukkan hampir pukul delapan malam.

 Sementara itu Deepali sibuk dengan berkas-berkas yang menumpuk diatas mejanya. Dengan cermat ia memeriksa kelengkapan berkas itu satu persatu. Hampir satu jam ia memeriksa berkas-berkas itu hingga membuatnya tenggelam dalam kesibukannya sendiri.

 Deepak akhirnya tiba dirumahnya.

 "Maaf Tuan, payungnya tadi dipakai oleh Nona. Sebentar saya ambil kedalam dulu."

 Ia bergegas keluar mobil dan mengambil dua buah payung dari dalam rumah.

 "Ini payungnya Tuan."

 "Terimakasih Kushal,"

 "Sama-sama Tuan."

 "Kushal, mana laddunya? Biar aku sendiri yang memberikannya kepada anakku."

 Kushal lalu mengambil bungkusan putih dari dalam mobil.

 "Ini Tuan."

 Deepak dan Bakhtaja berjalan menuju kedalam rumah. Hujan makin deras mengguyur malam itu.

 Tanpa berganti baju, Deepak berjalan menuju kamar Deepali. Dengan senyum bahagia, ia membawa laddu itu untuk ia berikan kepada anak semata wayangnya. Namun ketika sampai didepan kamar, Deepak tiba-tiba berhenti. Ia mendengar Deepali sedang berbicara dengan dengan seseorang menggunakan ponselnya.

 Dengan cukup jelas Deepak melihat Deepali tersenyum-senyum saat berbicara. Lewat pintu kamar yang sedikit terbuka itu pula ia bisa mendengar dengan jelas saat Deepali menyebut sebuah nama berkali-kali. Bharath. Nama itulah yang ia dengar. Seketika itu pula Deepak tersulut amarah. Laddu ditangannya terjatuh. Dengan matanya sendiri ia melihat Deepali telah menjalin hubungan dengan pria lain. Tanpa sepengetahuan dirinya.

 Deepak membuka pintu kamar Deepali setelah Deepali menutup percakapannya dengan Bharath. Mata Deepak menatap tajam mata Deepali.

 "Siapa lelaki itu Deepali?"

 "Maksud Ayah?"

 "Aku tanya, siapa lelaki yang kau ajak bicara di ponselmu tadi?" ucap Deepak dengan nada tinggi.

 "Ia temanku, kami sedang membahas proyek kampus. Kami tidak ada hubungan apapun Ayah."

 "Berikan ponselmu." perintah Deepak sambil mengulurkan tangannya.

 Betapa kagetnya Deepak melihat riwayat percakapan di ponsel Deepali. Dalam riwayat percakapan telepon itu banyak sekali telepon dari Bharath. Deepak marah. Ia merasa putrinya tidak bisa menjaga kehormatan dirinya. Harga dirinya jatuh. Sebagai seorang ayah, ia merasa gagal mendidik putrinya.

 "Siapa Bharath? Katakan!" bentak Deepak sambil memegang leher Deepali.

 "Ia temanku." ucap Deepali dengan suara tersengal-sengal.

 "Teman atau kekasihmu? Katakan Deepali!!!" bentak Deepak. Tangannya makin kuat mencengkeram leher Deepali.

 "Hentikan suamiku. Kau bisa membunuhnya!!!" teriak Bhaktaja.

 Dalam pertengkaran itu, Bakhtaja datang. Ia berusaha melepaskan tangan Deepak dari leher Deepali. Namun semua sia-sia. Deepak mendorong Bakhtaja hingga jatuh.

 "Kau telah mengotori kehormatan keluarga ini. Kau tidak mematuhi peraturan yang telah aku buat. Sejak kecil aku telah mendidikmu menjadi perempuan baik-baik. Agar kau bisa menjaga harga diri dan kehormatanmu. Namun apa yang terjadi? Kau telah gagal. Perempuan pembangkang adalah aib, oleh karenanya ia pantas untuk dibunuh. Kau pantas untuk mati!" ucap Deepak marah sambil membenturkan kepala Deepali ke dinding.

 Suara teriakan Deepali dan Bakhtaja terdengar oleh Kushal. Ia berlari menuju kamar Deepali. Betapa kagetnya ia saat melihat kepala Deepali dipenuhi darah. Dalam cengkraman tangan Deepak, Kushal melihat Deepali lemas tak berdaya. Lalu ia berlari menghambur masuk kedalam kamar. Dengan sekuat tenaga ia menarik tubuh Deepak agar terlepas dari Deepali. Perlawanan sengit terjadi antara sopir dan majikan. Hingga akhirnya Kushal tersungkur di lantai.

 "Berani-beraninya kau melawan majikanmu" ucap Deepak dengan geram. Lalu ia berjalan keluar meninggalkan kamar Deepali. Beberapa menit kemudian ia kembali ke kamar dengan sebuah tongkat kayu ditangannya.

 "Matilah kau!" teriak Deepak sambil memukul tubuh dan kepala Kushal berkali-kali. darah segar mulai keluar dari pelipis Kushal. Pria itu tidak sanggup menahan pukulan bertubi-tubi dari Deepak. Ia akhirnya jatuh tersungkur dilantai. Merintih-rintih menahan sakit di tubuhnya.

 Deepak melempar tongkat berlumuran darah itu ke lantai. Lalu ia menarik tubuh Bakhtaja yang berusaha melindungi putrinya.

 "Bakhtaja... Lepaskan!"

 "Tidak suamiku. Aku tidak akan melepaskannya."

 "Bakhtaja... Lepaskan kataku!" teriak Deepak penuh amarah.

 Deepali yang telah pingsan terenggut dari pelukan Bakhtaja. Deepak mengangkat tubuhnya keatas ranjang. Lalu ia pergi menuju kamarnya.

 Sesaat kemudian ia telah kembali. Deepak mendekati Bakhtaja.

 "Lakukan." perintah Deepak sambil menyerahkan sebuah pisah bedah kepada Bakhtaja.

 "Suamiku...." ucap Bakhtaja lirih dengan mata berkaca-kaca menahan tangis.

 "Lakukan saja. Aku rasa kau juga tahu apa hukuman yang pantas untuk seorang pembangkang." ucap Deepak dengan ekspresi dingin.

 Bakhtaja mengambil pisau bedah itu dari tangan Deepak. Dengan tangisan yang makin menjadi, Bakhtaja memeluk tubuh Deepali yang tidak bergerak. Ia pandang wajah cantik Deepali. Dalam wajah itu bisa ia lihat kenangan-kenangan indah keluarga mereka. Kebahagiaan saat Deepali dilahirkan ke dunia. Dikamar ini. Kamar dimana Deepali membuka sekaligus mengakhiri lembaran hidupnya.

 Dengan sentuhan lembut, Bakhtaja memegang tangan Deepali. Sebuah kehangatan terasa disana. Saat itu Bakhtaja tahu bahwa Deepak masih bernapas. Tak terasa airmatanya jatuh. Hatinya sedih. Sebab ia sadar bahwa sebentar lagi ia akan berpisah dengan putrinya.

 Akhirnya Bakhtaja mengakhiri hidup putrinya sendiri. Kebahagiaan bertahun-tahun keluarga itu hilang hanya dalam waktu beberapa menit.

 Bakhtaja melihat gadis itu tak bergerak dalam genangan darah, tenggorokannya telah tersayat oleh pisau bedah dengan presisi yang sangat luar biasa.

 Bakhtaja menarik napas dalam-dalam. Matanya berkaca-kaca. Beberapa detik kemudian jatuhlah butiran airmatanya. Ia menangis dalam guyuran hujan yang cukup deras malam itu. Gadis itu telah mati di tangannya.

 Melihat Bakhtaja telah menyelesaikan tugasnya, Deepak mengambil tongkat kayu yang tergeletak di lantai. Ia memukul kepala Kushal berkali-kali hingga akhirnya sopir itu menghembuskan napasnya untuk terakhir kali.

 ***

 Keesokan paginya, Deepak melaporkan kejadian malam itu kepada polisi. Pihak kepolisian Allahabad bertindak cepat. Mereka terjun ke lokasi kejadian. Memeriksa barang bukti dan mengolah tempat kejadian perkara untuk mendapatkan bukti-bukti atas kejadian pembunuhan malam itu.

 Deepak dan Bakhtaja diam dalam ketenangan. Sorot mata mereka berdua memancarkan rasa tidak bersalah sedikitpun. Mereka juga tidak takut akan pemeriksaan pihak kepolisian yang akan mereka hadapi. Sebab setelah kejadian itu, semua barang bukti telah mereka bereskan.

 Malam setelah menghabisi nyawa putri dan sopirnya, Bhaktaja mencuci pisau bedah dan tongkat menggunakan alkohol. Setelah memakai sarung tangan plastik, Deepak melumuri pisau bedah yang bersih itu dengan darah Deepali. Lalu meletakkan pisau bedah itu ke dalam genggaman tangan Kushal. Kemudian ia membakar sarung tangan plastik miliknya dan membuang abu pembakarannya ke halaman rumah melewati teras lantai dua. Sehingga abu itu lenyap terbawa tiupan angin dan guyuran hujan deras di malam yang sepi itu.

 Tepat seminggu setelah kejadian itu, Deepak dan Bakhtaja dinyatakan tidak bersalah karena tidak ada cukup bukti yang mengarah kepada mereka.

 Kini kesepian menanti Deepak dan Bakhtaja. Kehidupan mereka terasa hampa tanpa kehadiran Deepali. Dalam hati kecil mereka muncul rasa penyesalan yang mendalam. Namun mereka tidak mampu melawan takdir. Mereka hanya bisa memandang senyum Deepali lewat fotonya. Seperti sore itu, mereka berdua sedang berdo'a didepan foto Deepali. Seorang gadis cantik yang menggunakan sari merah bermotif bunga. Sebuah foto yang akan menjadi kenangan untuk mereka berdua selamanya.

             "Putriku..." gumam Bakhtaja dalam hati.

Muskurane ki wajah tum ho

 Gungunane ki wajah tum ho

 Jiya jaaye na, jaaye na, jaaye na..

 O re piya re..

  

You're the reason to smile.

 You're the reason to hum.

 I can't live, can't live, Can't live (without you),

 O beloved.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun