Mohon tunggu...
Choirul Rosi
Choirul Rosi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Cerita kehidupan yang kita alami sangat menarik untuk dituangkan dalam cerita pendek. 🌐 www.chosi17.com 📧 choirulmale@gmail.com IG : @chosi17

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Teana - Siprus (Part 17)

8 Mei 2018   14:26 Diperbarui: 8 Mei 2018   14:46 792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berpuluh -- puluh mil jauhnya dari Kota Petra, terdapat sebuah pulau kecil. Siprus namanya. Orang -- orang Arab biasanya berlayar kesana untuk berdagang. Dengan menggunakan kapal layar, perjalanan dari Kota Petra menuju Pulau Siprus membutuhkan waktu sebulan untuk menyeberangi Laut Mediterania. Jika keadaan laut sedang tidak tenang atau terjadi badai di tengah laut, maka perjalanan kesana akan memakan waktu lebih dari sebulan.

Di pulau itu - tepatnya di bagian barat daya, terdapat sebuah kota yang sangat ramai. Sebuah kota di tepian laut. Dengan hamparan alam berupa lautan yang luas membiru dan segarnya angin yang berhembus dari laut, membuat kota itu mudah dikenali oleh para pedagang pendatang. Terutama para pedagang dari Jazirah Arab.

Empat benteng berbentuk persegi berdiri kokoh sepanjang tepi laut. Masing -- masing bangunan benteng memiliki satu pintu masuk dan tiga jendela di tiap sisi bangunan. Pintu benteng itu dihubungkan dengan tangga yang menurun kebawah sebagai jalan untuk keluar. Letak bangunan yang cukup tinggi, membuat bangunan itu tidak akan kemasukan air saat air laut pasang sekalipun.

Benteng -- benteng itu dilengkapi dengan sebuah menara lampu menjulang tinggi keatas. Menara ini berfungsi untuk menyinari kapal yang datang berlabuh dan untuk mengawasi keadaan sekitar pantai pada malam hari. Setidaknya setiap hari diatas menara itu selalu ada satu orang penjaga lampu.

Tak jauh dari tepi pantai, terdapat sebuah balai kota bergaya Romawi berdiri dengan megah. Lima belas pilar di sisi Utara dan Selatan serta tujuh pilar disisi Timur dan Barat membuat bangunan ini nampak kokoh.

Diantara sesama pedagang Arab, penduduk kota itu terkenal dengan sebutan Orang Paphos. Yakni orang yang tinggal di Kota Paphos. Mereka terkenal akan kemahirannya dalam menempa tembaga selama ratusan tahun. Sejak pertama kali nenek moyang mereka mendarat dan mendiami Pulau Siprus.

Orang Paphos memiliki sebuah cerita turun -- temurun dari generasi ke generasi. Yakni cerita tentang manusia ular. Manusia jelmaan yang bisa merubah wujudnya menjadi wujud ular.

Cerita itu hingga kini masih dipercayai oleh mereka. Walau hanya sebatas cerita pengantar tidur.

***

Setelah hidup diatas kapal layar selama sebulan, akhirnya Simkath bisa merasakan kembali segarnya aroma daratan. Ia telah tiba di Pulau Siprus. Kapal  layar yang ditumpanginya berlabuh di pelabuhan Kota Paphos pada pagi hari. Nakhkoda kapal menurunkan jangkarnya. Para petugas kapal sibuk mengatur para penumpang agar turun dari kapal dengan tertib.

"Hei... Lewat sini. Jangan membuat jalan sendiri." teriak salah seorang petugas kapal saat melihat seorang lelaki hendak turun dari sisi kanan kapal.

Suasana di pelabuhan sangat ramai.

Simkath berdiri dengan tenang di tepian kapal. Angin laut berhembus menerpa wajahnya. Lalu ia berjalan menuju tangga kapal. Seorang petugas memintanya untuk menunjukkan gulungan daun Papirus yang ia bawa. Setelah petugas itu memeriksanya, Simkath bergegas pergi. Di dermaga nampak beberapa orang menawarkan jasa membawakan barang -- barang para penumpang. Namun Simkath mengacuhkannya. Ia merasa tidak memerlukan bantuan mereka. Ia berjalan menuju gerbang masuk Kota Paphos yang berada tidak jauh dari dermaga. Dengan membawa dua bungkusan kain hitam berisi barang -- barangnya, ia melangkahkan kakinya dengan tenang.

"Berkatilah aku Dewa." gumam Simkath sambil mencium liontin batu rubi hijau yang

menggantung di lehernya. Lalu ia selipkan liontin itu kedalam bajunya. Rambutnya yang panjang sebahu ia biarkan tergerai. Ia mengenakan sorban hitam untuk melindungi kepalanya yang botak dari panas.

Beberapa orang penjaga gerbang kota nampak berjaga - jaga. Mereka memeriksa identitas dan keperluan para pendatang yang melewati pintu gerbang kota. Termasuk Simkath.

"Maaf Tuan, bisakah kami memeriksa barang bawaan Tuan?".

"Silakan, aku tidak keberatan." jawab Simkath dengan nada datar sambil menyerahkan dua bungkusan yang ia bawa. Lalu kedua penjaga memeriksa dua bungkusan kain hitam itu.

Matahari bersinar cukup terik. Udara di sekitar pantai Pelabuhan Kota Paphos cukup panas.

Simkath sedang sibuk  mengamati orang -- orang di sekitarnya. Sebuah usaha pengenalan awal di tempat yang baru ia kunjungi untuk pertama kalinya. Berkali -- kali Simkath mengusap keringat yang menetes di kening dan lehernya. Terkadang ia memicingkan mata sekedar untuk memperjelas apa yang dilihatnya.

Ia melakukan itu karena mata kirinya mengalami sedikit cacat saat ia masih kecil. Sebuah bara api dari tumpukan kayu bakar terbang ke udara dan melukai mata kirinya saat ia bermain -- main dengan tungku untuk memasak.

"Tuan... Tuaaan..." ucap seorang penjaga memecah konsentrasi Simkath.

"Iyaaa... Maaf aku tidak mendengar." ucap Simkath tergagap setelah pundaknya ditepuk -- tepuk oleh penjaga gerbang kota..

"Ini bungkusan kain milik Tuan, kami telah selesai memeriksanya. Silakan Tuan melanjutkan perjalanan kembali."

"Terimakasih penjaga."

Mereka mengangguk. Kemudian Simkath berlalu meninggalkan mereka setelah ia menatap dan menyalami mereka satu persatu.

Beberapa saat setelah Simkath pergi...

"Hei... Apakah kau melihat apa yang aku lihat tadi?" tanya salah seorang penjaga.

"Tentu saja. Apa kau melihatnya juga?" sahut yang lain.

"Iya, sangat mengerikan." jawab penjaga itu sambil menelan air ludahnya.

Mereka saling pandang. Butir -- butir keringat menetes pelan dari dahi mereka. Bola mata sebelah kiri Simkath yang sedikit lebih sipit dari bola mata kanannya membuat mereka takut. Aura sihir begitu terasa dari tatapan bola mata yang berwarna semerah darah itu. Membuat tubuh mereka bergetar hebat saat menatapnya.

***

Yodh terbangun. Kekuatannya kini makin mendekati sempurna. Ia masih ingat saat ia menyihir seorang lelaki Paphos untuk mengambil patung Dewa Dhushara, ia tidak mampu menerawang keberadaan lelaki itu karena terbatasnya ilmu sihir yang ia miliki. Hingga akhirnya ia kehilangan jejaknya. Lelaki itu lenyap.

Namun kini semua telah berubah. Yodh kembali menjadi seorang pemimpin Bangsa Bawah. Bukan di Kerajaan milik Ratu Mehnaz, namun di kerajaannya sendiri. Kerajaan yang ia bangun ratusan tahun lalu. Kerajaan Yodh. Yodh dan para pengikutnya mendiami suatu daerah di Kota Paphos. Daerah berbukit yang cukup tinggi diatas permukaan laut.

Secara kasat mata, daerah itu berupa mata air yang jernih, dikelilingi oleh tumbuhan perdu yang menghijau. Letaknya yang jauh dari jangkauan manusia, membuat suasana disekitarnya cukup tenang dan damai. Sinar matahari yang menembus jernihnya mata air, membuat tempat itu menjadi hangat. Sehingga sangat menyenangkan untuk dijadikan sebagai tempat tinggal Bangsa Jin.

Namun, bagi manusia yang memiliki kekuatan menembus dimensi Bangsa Jin, daerah itu akan nampak seperti sebuah kerajaan besar. Dengan kubah berwarna hijau zamrud dan kaca -- kaca jendela berwarna merah delima menghiasi setiap tembok yang melingkar mengelilingi kubah. Didalamnya -- tepatnya ditengah bangunan dibawah kubah, terdapat sebuah kolam air yang jernih dan berbau sangat harum. Harum bunga teratai biru yang sedang mekar diatas permukaan air kolam. Mengelilingi kolam teratai itu, ada banyak singgasana kecil terbuat dari batu pualam putih. Mereka berjejer melingkari kolam. Bertemu di satu titik. Yakni di singgasana milik Yodh.

Sebuah singgasana palings besar berwarna putih gading. Disitulah Yodh biasanya memerintah para anak buahnya. Para Bangsa Jin menyukai tempat semacam ini. Tenang dan lembab.

Sejak berdirinya Kerajaan Yodh ratusan tahun lalu, sedikit demi sedikit Yodh mengubah manusia jelmaan itu menjadi jin seutuhnya - tentunya dengan menggunakan kekuatan sihir yang ia miliki, sehingga di kerajaan itu dipenuhi oleh puluhan jin beraneka wujud. Terutama wujud hewan melata. Wujud ular. Yodh sendiri sering menampakkan wujud aslinya saat ia berada didalam kerajaannya. Yakni wujud lelaki berbadan tegap berkepala botak. Namun itu hanya separuh tubuh bagian atas saja. Sedangkan separuh bagian bawah -- mulai dari pinggang kebawah berwujud ular. Dengan ekor yang panjang bersisik hijau keemasan.

***

"Dimanakah aku bisa  mendapatkan penginapan?" tanya Simkath.

"Berjalanlah menuju arah barat. Kau akan menemukan pemukiman yang cukup ramai. Disana terdapat banyak penginapan yang bisa kau pilih."jawab seorang wanita.

"Terimakasih."ucap Simkath.

Setelah tiba di penginapan, Simkath memesan sebuah kamar. Saat ia membayar sewa penginapan, para tamu menatap Simkath dengan tatapan  yang aneh. Antara heran dan takut.

Simkath memahami arti tatapan mereka itu. Setelah ia selesai, ia bergegas mengikuti pelayan untuk menuju ke kamarnya. Seorang lelaki muda mendatangi pemilik penginapan.

"Siapa orang yang baru saja pergi itu? Sepertinya ia bukan penghuni Pulau ini. Kulitnya terlihat berbeda dengan kulit kita."

"Kau benar. Dia orang Petra. Yang aku tahu hanya sebatas itu saja. Lainnya tidak."

"Mengapa kau menerimanya? Apa kau tidak melihat keanehan yang ada pada diri orang itu?"

"Aku melihatnya. Tapi aku tidak peduli dengan semua itu. Aku hanya menginginkan uangnya. Ia membayarku mahal." jawab pemilik penginapan sambil menimang -- nimang kantung koin emas ditangannya.

Lalu pemilik penginapan pergi melayani tamu yang baru saja datang.

"Silakan Tuan... Selamat datang, ada yang bisa aku bantu?"

Dihinggapi rasa penasaran dan rasa tidak puas atas jawaban yang ia terima. Khalid berjalan menuju kamar Simkath. Ia sendirian. Tak ada orang tahu akan hal ini. Sesampai didepan kamar Simkath, ia mengintip dari celah -- celah dinding kayu. Ia melihat Simkath tertidur pulas di ranjangnya. Ia mengamati seisi ruangan Simkath. Kemudian ia menatap wajah Simkath yang sedang terbaring miring diatas ranjang. Khalid bisa menatap wajah Simkath dengan sangat jelas. Wajahnya penuh dengan guratan -- guratan di pipi, sangat menyeramkan.

Mata Khalid masih tetap memandang wajah Simkath, namun tiba -- tiba kedua mata mereka saling bertemu. Simkath terjaga. Khalid tersentak kaget. Ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Ia seperti dipaksa untuk menatap mata Simkath. Mata yang berwarna semerah darah. Dalam beberapa detik, tubuh Khalid bergetar hebat. Sebuah kekuatan seolah menguasai dirinya. Namun Simkath memejamkan matanya kembali. Khalid terjatuh lemas. Tak bersuara. Iapun berdiri dan beranjak dari tempatnya. Meninggalkan kengerian yang baru saja ia rasakan. Simkath tersenyum puas. Lalu ia melanjutkan tidurnya.

***

  •             Sementara itu di Kerajaan Yodh...
  • "Wahai para pengikutku... Adakah kiranya sesuatu yang mengganggu kalian akhir -- akhir ini?"
  • "Tidak ada Tuan, kami baik -- baik saja. Semua berjalan seperti biasa."
  • "Benarkah?"
  • "Benar Tuan, Mengapa Tuan menanyakan hal itu? Apakah ada yang mengganggu Tuan?"
  • "Coba kau lihat keatas. Perhatikan warna kubah kerajaan kita."
  •             Semua pengikut Yodh menengadah keatas. Memperhatikan kubah raksasa yang menaungi kerajaan mereka. Dengan cermat mereka mengamati warna kubah itu. Pelan namun pasti, tekstur warna kubah mulai berubah. Ruangan pertemuan itu mendadak menjadi gempar.
  •             "Tuan... Mengapa warna kubah itu berubah? Apa yang terjadi?"
  • "Baguslah kalian menyadarinya. Itu semua karena kekuatan Dewa Dhushara. Jika ini dibiarkan terus menerus, kerajaan kita bisa melemah dan hancur."
  • "Kekuatan Dewa? Bukankah Tuan telah mencuri patung Dewa Dhushara dari Kuil Ad Deir? Dan itu artinya adalah tidak akan ada lagi pemujaan kepada Dewa. Sehingga kekuatan Dewa Dhushara sudah pasti akan melemah dan kerajaan kita akan tetap aman. Tapi mengapa ini terjadi sebaliknya?"
  • "Patung Dewa Dhushara memang berhasil dicuri dari Kuil Ad Deir. Namun bukan itu masalahnya. Kekuatan Dewa Dhushara tidak terletak pada patung itu. Namun ada pada batu rubi hijau yang tertanam didalam patung. Segera kalian cari batu itu."
  • "Baik Tuan. Akan kami laksanakan. Tapi... Bagaimana cara kami mengetahui keberadaan batu itu Tuan?"
  • "Batu itu akan selalu memancarkan energi yang cukup besar. Jika batu itu berada di alam liar, maka keadaan di sekitar batu itu akan terasa cukup teduh dan menenangkan. Namun jika batu itu telah jatuh ke tangan manusia, maka manusia yang memiliki batu itu akan memancarkan cahaya pendar berwarna hijau. Pendar cahaya itu hanya bisa dilihat oleh Bangsa Bawah seperti kita. Bangsa manusia tidak akan sanggup melihatnya."
  • "Kami mengerti Tuan. Perintah Tuan akan segera kami laksanakan."
  • ***
  •      Pagi itu Simkath berangkat menuju pasar kota untuk membeli makanan. Dengan jubah hitam yang dilengkapi kerudung berwarna senada menutup seluruh tubuhnya dan sebuah tali melilit pinggangnya sebagai pengikat jubah, ia berjalan seperti orang asing. Semua mata tertuju padanya. Ada yang bergerombol membicarakannya, ada yang berlari menjauh karena ketakutan, ada yang terdiam ditempat sambil memandanginya tanpa berkata -- kata sedikitpun.
  • "Tuan... Berapa harga untuk satu potong daging kambing itu?" tanya Simkath.
  • "Harganya setengah koin emas Tuan." ucap si penjual dengan sedikit gemetar.
  • "Aku beli dua potong, satu potong dibakar setengah matang."
  • "Ba... Baik Tuan." jawab si penjual tergagap.
  •      Dengan cekatan, si penjual meraih dua ekor daging kambing segar diatas meja, lalu ia membakar daging itu. Sambil terus mengipasi daging kambing didepannya, matanya tak henti -- hentinya mencuri pandang kepada Simkath. Seolah -- olah ada sesuatu dari diri Simkath yang memaksa matanya untuk melihatnya.
  •      Sesekali mata mereka beradu pandang dan si penjual langsung membuang muka. Takut Simkath akan tersinggung dan marah padanya. Setelah daging itu matang, si penjual mengoleskan mentega diatasnya. Lalu menaburinya dengan berbagai macam rempah -- rempah.
  • "Ini daging pesanan Tuan." ucap si penjual sambil menyerahkan bungkusan daging bakar kepada Simkath.
  • "Terimakasih. Ini, ambil semuanya." jawab Simkath. Kemudian ia pergi meninggalkan si penjual yang berdiri diam dalam kebingungan. Tak satupun kata keluar dari mulutnya.
  •      Hari mulai beranjak sore, matahari mulai tergelincir di ufuk barat. Sepertinya Simkath cukup puas dengan barang -- barang yang ia dapatkan. Ia ingin segera kembali ke penginapannya untuk melepas lelah. Ketika hendak keluar dari pasar kota, ia dikejutkan oleh iringan kuda yang ditunggangi oleh beberapa lelaki berjubah hitam dengan cadar putih menutup sebagian wajahnya. Yang nampak hanyalah mata mereka.
  •      Gerombolan lelaki berkuda itu menyeruak masuk ke jalanan pasar yang cukup ramai. Sehingga banyak penduduk dan anak -- anak kecil yang menepi untuk menghindari tabrakan dengan kuda yang sedang lari.
  •      Tiba -- tiba pemimpin gerombolan melihat sebuah pendar cahaya berwarna hijau dari dalam pasar. Iapun melecut kudanya agar berlari makin kencang.
  •             "Awas... Minggir... Minggir..." teriak salah satu dari mereka dengan suara yang tidak telalu                       jelas akibat tertutup oleh cadar.
  •      Hari mulai gelap. Suasana jalanan di pasar kota menjadi riuh. Debu -- debu beterbangan ke udara. Barang dagangan penduduk tumpah berhamburan di jalanan akibat terjangan kuda. Anak -- anak kecil menangis ketakutan dalam pelukan ibunya masing -- masing.
  •      Dari kejauhan, Simkath mengamati dengan cukup serius. Saat gerombolan lelaki berkuda hampir mendekat, Simkath berjalan menepi. Dan saat itu juga, pemimpin mereka berhenti didepannya.
  •             "Akhirnya, setelah cukup lama mencari, kutemukan juga kau. Tangkap lelaki ini!" teriaknya lantang sambil mengarahkan pedangnya ke tubuh Simkath.
  •      Beberapa lelaki bertubuh besar segera melompat turun dari punggung kuda mereka. Mengepung Simkath dari segala penjuru. Semua orang di sekitar Simkath berlari menjauh. Mencari perlindungan sendiri -- sendiri. Simkath yang merasa terkepung, berusaha untuk tetap tenang. Ia mengepalkan kedua tangannya. Berada dalam posisi siap untuk menyerang balik. Makanan yang baru saja dibelinya, diselipkan di tali pinggangnya.
  •      Pertarunganpun terjadi. Kekuatan menjadi tidak seimbang. Simkath seorang diri melawan beberapa lelaki bertubuh besar. Dengan menggunakan tangan kosong, Simkath berhasil menguasai keadaan. Ia mampu menangani para lelaki itu. Hal ini membuat musuhnya menjadi marah. Mereka mulai mengeluarkan senjata tajam. Pedang berujung runcing dan tajam siap menghunus perut Simkath.
  •      Sesekali Simkath berlari menjauh menghindari serangan, kadang juga menyerang balik. Dengan kelincahannya, ia berhasil merebut salah satu pedang dari tangan musuhnya. Kini posisi mereka menjadi seimbang. Kedua belah pihak memiliki senjata masing -- masing.
  •      Simkath berhasil memukul mundur gerombolan lelaki berkuda itu. Beberapa dari mereka terlempar ke udara dan jatuh diatas atap lapak para pedagang. Anehnya, meskipun Simkath menyerang mereka dengan pukulan dan tendangan yang cukup keras, mereka hanya terjerembab diatas tanah saja. Tubuh mereka tidak mengalami lecet sedikitpun.
  •      Akibat pertarungan itu, pasar kota kini menjadi kacau balau. Teriakan anak kecil, bunyi gesekan pedang dan ringkihan kuda berbaur jadi satu.
  •             "Munduuur...!!!" teriak pemimpin gerombolan itu.
  •      Dalam beberapa menit, suasana pasar menjadi terkendali. Para penduduk memberanikan diri keluar dari tempat persembunyian mereka. Lapak -- lapak yang berantakan mulai dibereskan kembali oleh pemiliknya.
  •      Semua mata tertuju pada Simkath. Dengan tatapan yang aneh, mereka bergumam satu sama lain.  Simkath tidak mempedulikan mereka. Ia melemparkan pedang ditangannya, mengambil bungkusan di pinggangnya dan berjalan keluar dari pasar kota.
  • ***
  •             "Ampun Yang Mulia, hamba tidak berhasil merebut batu rubi hijau itu." ucap prajurit Yodh               ketakutan.
  •             "Apa katamu! Percuma aku mengirimmu untuk mencari batu itu kalau hasilnya seperti ini!                  Teriak Yodh marah.
  •             "Ampun Yang Mulia, kekuatan batu rubi hijau itu teramat besar. Kami tidak sanggup                         melawan aura magis dari batu itu. Kekuatan kami melemah seketika saat mendekati batu                      itu."
  •             "Cukup, tunjukkan padaku siapa orang yang memiliki batu itu. Cepat!" perintah Yodh penuh             amarah.
  •      Prajurit yang memimpin penyerangan di pasar tadi segera melangkah maju. Ia duduk bersila didepan Yodh. Merapalkan mantra dan menyilangkan kedua tangannya di dada. Lalu ia menjulurkan tangannya ke depan sambil membuka telapak tangannya. Asap putih membumbung ke udara. Yodh mengamati baik -- baik kejadian demi kejadian di pasar tadi lewat gumpalan asap yang dibuat oleh prajurit itu.
  •             "Baiklah, kali ini aku memaafkanmu. Aku bisa menerima penjelasanmu. Pergilah."
  •             "Terimakasih Yang Mulia."
  •      Ia segera berdiri, lalu ia membungkuk memberi hormat dan berbalik meninggalkan ruangan pertemuan. Hanya dalam beberapa langkah, tiba -- tiba ia jatuh ke lantai dengan tubuh hangus terbakar. Sebuah bola api yang dilesatkan Yodh mampu menghanguskan roh prajurit itu.
  •             "Itulah hukuman bagi orang yang bodoh seperti dia. Karena kebodohannya ia tidak sanggup              menjalankan tugas yang aku berikan. Ingat, kalian adalah Bangsa Bawah. Bangsa Jin.                          Kalian memiliki kekuatan yang tidak dimiliki oleh manusia. Kalian harus mampu                           menggunakan kekuatan itu baik -- baik. Dan aku terpaksa melenyapkannya karena                                  kebodohan yang telah ia lakukan."
  •      Yodh berdiri dari singgasananya. Berjalan pelan keluar dari ruang pertemuan. Semua pembesar yang hadir disana menundukkan kepala mereka. Mereka tahu bahwa Yodh sedang dikuasai amarah. Sehingga mereka harus tetap bersikap tenang agar suasana tidak bertambah rumit.
  •      Setelah Yodh melihat kejadian di pasar kota tadi, ia bisa menyimpulkan bahwa lelaki itu bukanlah orang biasa. Melihat gerak -- geriknya saat ia menyerang balik anak buahnya, Yodh bisa mengukur kekuatan yang dimiliki lelaki itu.
  • "Prajurit... Kemarilah..." perintah Yodh kepada prajurit penjaga.
  • Prajurit itupun berjalan mendekat...
  • "Ada apa Yang Mulia memanggil hamba?"
  • "Perhatikan ini baik -- baik..." ucap Yodh.
  • Yodh segera membuka telapak tangannya, lalu mulutnya bergerak -- gerak membaca sebuah mantra. Seketika itu juga keluarlah gumpalan asap putih dari telapak tangannya.
  • "Perhatikan baik -- baik."
  • Beberapa saat kemudian...
  • "Segera kau cari lelaki itu. Temukan keberadaannya dan siapa dia sebenarnya. Kau adalah prajurit terbaikku, jangan sampai mengecewakanku. Kau mengerti?".
  • "Baik Yang Mulia, hamba mengerti. Perintah segera hamba laksanakan."
  •      Setelah prajurit itu berpamitan, ia bergegas keluar menuju halaman kerajaan. Lalu ia mengubah dirinya menjadi seekor gagak hitam dan iapun terbang ke angkasa untuk menemukan keberadaan Simkath.
  • ***
  •      Di luar udara mulai dingin. Kota Paphos nampak sepi. Kini Simkath telah sampai di penginapannya. Ia berbaring di kamarnya setelah menyantap daging kambing bakar yang dibelinya tadi sore.
  • "Siapa mereka sebenarnya? Mengapa mereka tiba -- tiba menyerangku?" gumam Simkath sambil menerawang langit -- langit kamarnya.
  •      Simkath tidak mengetahui keberadaan seekor burung gagak hitam diluar jendela kamarnya, ia cukup lelah untuk merasa waspada. Sehingga semua gerak -- gerik Simkath telah dibaca oleh si burung gagak. Prajurit suruhan Yodh itu telah membaca semua yang ada pada diri Simkath, keadaan fisiknya, seberapa besar kekuatan yang dimilikinya, hingga namanya sekalipun ia bisa tahu. Termasuk batu rubi hijau berbentuk segitiga yang melekat di kalung milik Simkath.
  •      Untuk mendapatkan semua informasi ini, gagak hitam itu terpaksa harus menjaga jarak dengan Simkath. Ia tidak bisa terlalu dekat dengannya. Sebab aura yang dikeluarkan oleh batu itu akan membakar dirinya jika ia berada dalam jarak yang terlalu dekat.
  • "Aku harus segera kembali dan melaporkannya kepada Yang Mulia Yodh." gumamnya. Ia lalu terbang melesat ke udara. Meninggalkan penginapan Simkath.
  •      Sesampainya di Kerajaan Yodh, gagak hitam itu segera mengubah dirinya menjadi wujud Jin. Ia bergegas menuju ruangan Yodh dan melaporkan apa yang telah ia lihat.
  •             "Jadi, sebesar itukah kekuatan Simkath?"
  •             "Benar Yang Mulia,"
  •             "Pantas saja mereka tidak sanggup meringkusnya."
  •             "Menurut hamba, lebih baik Yang Mulia sendirilah yang harus turun tangan. Sebab kekuatan             Yang Mulia miliki bisa menandingi kekuatan si dukun Simkath itu."
  •             "Baiklah kalau begitu, besok segera kau siapkan beberapa prajurit terbaik kita." perintah                Yodh.
  •             "Baik Yang Mulia."
  • ***
  •      Seperti biasa di pagi hari Yodh selalu menyempatkan diri berjalan -- jalan keluar untuk mencari udara segar. Setelah beberapa minggu tinggal di Kota Paphos, ia mulai bisa menyesuaikan diri. Ia sudah mendapatkan beberapa pelanggan di pasar kota. Tentunya mereka adalah para pelanggan yang mempercayai ramalan Simkath. Dari merekalah Simkath mendapatkan cukup banyak kantung koin emas. Namun beberapa hari terakhir ini koin emasnya mulai menipis.
  • "Nampaknya persediaan koin emasku tinggal sedikit, aku harus segera mendapatkan beberapa koin emas lagi agar aku bisa tetap bertahan disini." gumam Simkath. Lalu ia segera kembali ke penginapan untuk sarapan dan membersihkan badannya.
  •      Dengan berpakaian jubah seperti biasa - tanpa kerudung penutup kepala, Simkath berjalan menuju pasar kota. Ia menenteng sebuah tas kain yang tidak terlalu besar. Didalamnya berisi beberapa alat untuk meramal.
  •             "Tuan, apakah kau bisa meramalku sekarang?" tanya salah seorang lelaki muda.
  •             "Bisa Nak, kau tunggulah sebentar. Aku sedang mempersiapkan peralatanku. Aku baru saja
  •             tiba disini."
  •             "Baiklah Tuan, aku akan menunggu."
  •      Tak butuh berapa lama, persiapan Simkath telah selesai. Ia meramal nasib percintaan lelaki itu dengan kekasihnya, pekerjaannya hingga masa depannya bersama sang kekasih. Dan nampaknya lelaki muda itu cukup puas dengan ratusan kata yang keluar dari mulut Simkath.
  •      Belum juga selesai meramal, datanglah beberapa orang lagi yang ingin diramal oleh Simkath. Mereka menunggu giliran dengan sabar. Hingga tak terasa tibalah pengunjung yang terakhir. Yakni seorang wanita tua yang ingin dikaruniai seorang anak. Ia meminta jimat kepada Simkath agar lekas mengandung bayi pertamanya.
  • "Gantunglah ini diatas pintu kamar tidurmu Nyonya, setiap kali Nyonya melangkah masuk kedalam kamar, jangan lupa berdoa dan sentuhlah benda ini hingga bergoyang." ucap Simkath sambil menyerahkan sebuah bandul dari batu berukuran sebesar buah kurma.
  • "Baiklah Tuan, akan aku patuhi perintahmu. Terimalah koin emas pemberianku ini sebagai rasa terimakasihku," jawab wanita tua itu. Simkath tersenyum.
  •      Sore ini ia merasa cukup puas dengan koin -- koin yang ia peroleh. Sehingga ia memutuskan untuk menutup lapak miliknya lebih awal dari biasanya.
  •        "Permisi Tuan..." sebuah suara lelaki tua yang parau mengagetkan Simkath.
  • "Iya, maaf Tuan, saya sudah tutup dan mau pulang. Besok saja Tuan datang kembali." jawab Simkath datar tanpa memperdulikan kehadiran lelaki tua itu.
  •        "Tuan, bantu aku..." ucap lelaki tua itu sambil memegang tangan kanan Simkath.
  •      Seketika itu juga aliran darah Simkath terasa berhenti mengalir. Genggaman tangannya dingin seperti es. Sebuah kekuatan besar terpancar darinya. Simkath bisa merasakannya.
  •             "A...apa yang bisa aku lakukan untukmu Tuan?" tanya Simkath terbata -- bata.
  •             "Ikutlah denganku..." jawab lelaki tua itu.
  • ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun