Mohon tunggu...
M KHOTIB
M KHOTIB Mohon Tunggu... Guru - Guru

Saya adalah sebagai Guru dan pendidik di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri di Kota Tangerang Selatan. hobi saya selain olahraga, saat ini sedang merintis untuk menjadi penulis di berbagai media online

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menggantung di Langit

14 Februari 2023   02:27 Diperbarui: 14 Februari 2023   02:31 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

MENGGANTUNG DI LANGIT

Oleh: Muhammad Khotib At-Tamamy*

Entah dari mana asal keluarga ini, tak seorangpun pernah percerita tentang keluarga ini. Di tengah keluarga yang selalu dirundung pahit dan getir kehidupan, diperbatasan  antara perumahan elite nan megah, tempat para selebritis membuang kepenatan setelah shooting serta mall-mall megah yang bertengger rapih di area pondok indah.

Tidak jauh dari lokasi megah tersebut bertengger rumah-rumah penduduk reot tak berhalaman, daun genting  berwarna hitam kecoklatan  dan mulai retak dimakan usia, deduanan kering berserakan menghias sisi kanan dan kiri halaman rumah serta cat tembok berwarna cream yang pudar menjadi putih serta mulai mengelupas karena hampir sepuluh tahun tidak digantinya warnanya.

Pondok  Aren, ya nama desa yang unik, tetangga  desa sering menyebutnya, entah kenapa dinamai demikian, padahal tidak ada satupun pohon Aren yang masih bertengger di desa tersebut, yang ada hanya bekas sawah yang menjadi rawa-rawa dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dari kota Jakarta. Memang tetangga kecamatan banyak yang menggunakan nama dari buah-buahan, seperti pondok kelapa, pondok kacang, pondok pucung dan lain-lain. Mungkin menurut mereka mudah dan gampang diingat tanpa mempermasalahkan asal-usulnya.

Dulu daerah pondok Aren persawahan yang luas nan asri di tahun 80-an kemudian pemerintah menyulapnya menjadi perumahan untuk para pegawai yang bekerja di departemen luar negeri, perumahan tersebut terkenal dengan sebutan Komplek DEPLU. Memang mereka yang menempati perumahan pemerintah ini hampir setiap tahun bulak-balik keluar negeri hanya sekedar melancong, entah apa yang mereka kerjakan disana. Rumah mereka biasanya langsung direnovasi ketika baru pulang dari sana, hebatnya mereka.

Mereka tidak menyadari apa yang ada disekelilingnya, sebuah keluarga hidup dengan penghasilan yang tidak menentu, untuk menyambung nafas seorang isteri dan kelima anaknya, kadang Sarmin menjual hasil kebun, hewan ternak (ayam) atau kuli bangunan dengan upah cukup untuk makan sehari. 

Yang menjadi andalan tumpuan hidupnya hanya hasil menjahit celana dan pakaian pesanan tetangga, hanya mesin jahit  tua itu yang dimiliki sebagai teman sejati siang dan malam, itupun satu-satunya warisan oranga tuanya yang tertinggal dan masih dapat dimanfaatkan. Anton adalah anak laki-laki yang menjadi harapan Sarmin kelak, meskipun masih ada dua anak laki-laki setelah Anton, nanun  ia anak laki-laki tertua dalam keluarga tersebut, sehingga beban hidup kelurganya pun tertuju di pundaknya.

Sakit yang berkepanjangan membuat Sarmin harus membatasi diri dalam setiap pekerjaan, itu pesan dari Mbah Mijen seorang dokter alternatif yang pernah ia  datangi, "Ton rawat bapakmu dengan baik ya, jangan memaksakan diri dalam pekerjaan" pesan mbah Mijen kepada anton sambil mengulurkan tangannya dan memberikan sekantung obat-obatan tradisional.  kebutuhan hidup keluarga ini tidak berhenti lantaran sakit kerasnya, sehingga isterinya selalu manggantikan posisinya untuk menyelesaikan pesanan celana dan baju tetangga yang akan diambil pekan depan.

"Bu, jahitan yang saya titipkan dua minggu lalu sudah selesai?" Tanya seorang tetangga sambil matanya melihat pakaian yang manggantung di sekeliling ruang kerja Sarmin. "Sudah selesai semua, malah saya lupa pakaian ini pesanan siapa" sambil memasukan pesanaan yang yang jadi dan dimasukan dalam kantong berwarna hitam yang sudah lusuh.

"makasih bu," sambil menerima kantong hitam lusuh tetangga ini pun menyerahkan ongkos jahit yang terbungkus amplop putih dengan kombinasi  dua strip warna merah.  Entah berapa isinya, yang pasti keluarga ini tidak pernah mematok harga setiap jahitan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun