MENGGANTUNG DI LANGIT
Oleh: Muhammad Khotib At-Tamamy*
Entah dari mana asal keluarga ini, tak seorangpun pernah percerita tentang keluarga ini. Di tengah keluarga yang selalu dirundung pahit dan getir kehidupan, diperbatasan antara perumahan elite nan megah, tempat para selebritis membuang kepenatan setelah shooting serta mall-mall megah yang bertengger rapih di area pondok indah.
Tidak jauh dari lokasi megah tersebut bertengger rumah-rumah penduduk reot tak berhalaman, daun genting berwarna hitam kecoklatan dan mulai retak dimakan usia, deduanan kering berserakan menghias sisi kanan dan kiri halaman rumah serta cat tembok berwarna cream yang pudar menjadi putih serta mulai mengelupas karena hampir sepuluh tahun tidak digantinya warnanya.
Pondok Aren, ya nama desa yang unik, tetangga desa sering menyebutnya, entah kenapa dinamai demikian, padahal tidak ada satupun pohon Aren yang masih bertengger di desa tersebut, yang ada hanya bekas sawah yang menjadi rawa-rawa dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dari kota Jakarta. Memang tetangga kecamatan banyak yang menggunakan nama dari buah-buahan, seperti pondok kelapa, pondok kacang, pondok pucung dan lain-lain. Mungkin menurut mereka mudah dan gampang diingat tanpa mempermasalahkan asal-usulnya.
Dulu daerah pondok Aren persawahan yang luas nan asri di tahun 80-an kemudian pemerintah menyulapnya menjadi perumahan untuk para pegawai yang bekerja di departemen luar negeri, perumahan tersebut terkenal dengan sebutan Komplek DEPLU. Memang mereka yang menempati perumahan pemerintah ini hampir setiap tahun bulak-balik keluar negeri hanya sekedar melancong, entah apa yang mereka kerjakan disana. Rumah mereka biasanya langsung direnovasi ketika baru pulang dari sana, hebatnya mereka.
Mereka tidak menyadari apa yang ada disekelilingnya, sebuah keluarga hidup dengan penghasilan yang tidak menentu, untuk menyambung nafas seorang isteri dan kelima anaknya, kadang Sarmin menjual hasil kebun, hewan ternak (ayam) atau kuli bangunan dengan upah cukup untuk makan sehari.
Yang menjadi andalan tumpuan hidupnya hanya hasil menjahit celana dan pakaian pesanan tetangga, hanya mesin jahit tua itu yang dimiliki sebagai teman sejati siang dan malam, itupun satu-satunya warisan oranga tuanya yang tertinggal dan masih dapat dimanfaatkan. Anton adalah anak laki-laki yang menjadi harapan Sarmin kelak, meskipun masih ada dua anak laki-laki setelah Anton, nanun ia anak laki-laki tertua dalam keluarga tersebut, sehingga beban hidup kelurganya pun tertuju di pundaknya.
Sakit yang berkepanjangan membuat Sarmin harus membatasi diri dalam setiap pekerjaan, itu pesan dari Mbah Mijen seorang dokter alternatif yang pernah ia datangi, "Ton rawat bapakmu dengan baik ya, jangan memaksakan diri dalam pekerjaan" pesan mbah Mijen kepada anton sambil mengulurkan tangannya dan memberikan sekantung obat-obatan tradisional. kebutuhan hidup keluarga ini tidak berhenti lantaran sakit kerasnya, sehingga isterinya selalu manggantikan posisinya untuk menyelesaikan pesanan celana dan baju tetangga yang akan diambil pekan depan.
"Bu, jahitan yang saya titipkan dua minggu lalu sudah selesai?" Tanya seorang tetangga sambil matanya melihat pakaian yang manggantung di sekeliling ruang kerja Sarmin. "Sudah selesai semua, malah saya lupa pakaian ini pesanan siapa" sambil memasukan pesanaan yang yang jadi dan dimasukan dalam kantong berwarna hitam yang sudah lusuh.
"makasih bu," sambil menerima kantong hitam lusuh tetangga ini pun menyerahkan ongkos jahit yang terbungkus amplop putih dengan kombinasi dua strip warna merah. Entah berapa isinya, yang pasti keluarga ini tidak pernah mematok harga setiap jahitan.