Mohon tunggu...
Trimanto B. Ngaderi
Trimanto B. Ngaderi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Penulis, Pendamping Sosial Kementerian Sosial RI, Pegiat Urban Farming, Direktur PT LABA Indoagro Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Medsos dan "The Power of Reject"

5 Januari 2018   21:31 Diperbarui: 5 Januari 2018   21:37 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Akhir-akhir ini, pertikaian dan perselisihan antarsesama anak bangsa kian sering terjadi. Baik konflik antarkelompok elit, antarkelompok agama, antarsuku dan golongan. Konflik bisa dipicu oleh hal-hal besar dan prinsipil, tapi tak sedikit pula yang dipicu oleh perkara kecil dan remeh. Walau belum sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan, sebaiknya kita perlu hati-hati dan waspada agar tidak berkembang dan membesar yang bisa mengakibatkan perpecahan dan disintegrasi bangsa.

Berbagai nuansa pertikaian dan perselisihan tersebut bisa mencerminkan kecenderungan manusia untuk menolak apapun yang datang kepadanya. Menurut Jean Baudrillard dalam buku The Transparency of Evil, kemungkinan semua ini berakar pada kekuatan kejiwaan yang disebut sebagai the power of reject, atau kekuatan untuk menolak.

The power of reject mewakili suatu kecenderungan manusia dewasa ini untuk melakukan penolakan apapun yang menghampiri dirinya. Akar dari munculnya kecenderungan ini adalah rasa muak dan hilangnya selera, yang meresap dalam jiwa manusia zaman ini.

Hal tersebut terjadi karena khasanah jiwa kita terlalu banyak dibanjiri ide, kesan, pesan, citra, maupun rangsangan dalam kurun waktu yang terus-menerus, seakan tiada berujung. Sebagaimana kita ketahui bersama, setiap detik kita dicekoki berbagai informasi dan pesan, terutama melalui media online (media sosial). Nah, ketika rasa muak dan hilangnya selera di tengah dinamika jiwa manusia semakin kronis, timbullah kekuatan jiwa untuk melakukan penolakan. Ini mirip dengan reaksi alergi atau hipersensitivitas yang ditandai penolakan yang luar biasa terhadap alergen.

Parahnya lagi, penolakan biasanya bersifat berlebihan, cenderung irasional, dan tidak proporsional. Jika sudah demikian, apapun yang disampaikan atau dikatakan oleh orang lain, cenderung selalu ditanggapi dengan reaksi penolakan dalam berbagai nuansa. Bahkan tanpa disadari, ia juga menolak dirinya sendiri, sehingga dia tidak bisa mencintai dirinya sendiri secara wajar. Keadaan ini bisa menjadi lebih parah jika sampai terbentuk persepsi sikap dan tindakan yang diwarnai corak asal menolak apapun.

Pada perspektif hubungan antarmanusia, kecenderungan serba menolak ini begitu berbahaya. Hubungan antarmanusia bisa menjadi rusak, kacau, dan terganggu; jika manusia-manusia di dalamnya digelayuti kecenderungan memiliki the power of reject. Padahal, hakikat hubungan antarmanusia merupakan pertukaran timbal-balik antara manusia yang satu dengan manusia lainnya yang ditandai dengan sikap dan tindak saling memberi dan menerima, serta menghasilkan kondisi yang saling menguntungkan dan menumbuhkembangkan.

Sikap-tindak serba menolak di tengah masyarakat Indonesia mewujud dalam bentuk mudah menyalahkan, menghakimi, memvonis, menolak kebenaran, merasa benar sendiri, tidak bisa menerima masukan atau kritik, dll. Hal ini bisa jadi merupakan bagian kecenderungan perilaku serba menolak di tengah kehidupan global. Dalam perspektif Indonesia, kencenderungan ini bisa berkaitan dengan tiga kondisi riil yang dihadapi bangsa kita.

Pertama, rasa muak terhadap semakin merajalelanya praktik korupsi dan perilaku tak jujur lainnya yang semakin hari semakin kronis dan tak kunjung teratasi. Korupsi dan berbagai variannya setiap hari membanjiri khasanah mental masyarakat Indonesia dalam kurun waktu yang amat panjang. Hal demikian, membuat jiwa warga menggumpal rasa muak yang hebat, yang pada akhirnya dapat mematikan selera alamiah. Kondisi inilah yang dapat menumbuhsuburkan bibit-bibit the power of reject, yang mengarah kepada orang lain maupun diri sendiri.

Kedua, rasa muak yang berkembang akibat para elit penguasa yang terbiasa "no action talk only". Para penguasa yang hanya fasih berbicara, pandai beretorika, termasuk gemar mengobral janji tanpa ada tindakan nyata maupun bukti-bukti konkret. Bahkan tak jarang, ucapan para elit bukannya menetramkan dan memberikan solusi, tapi malah membuat bingung, memicu perpecahan, dan menambah permasalahan baru. Kebiasaan asal ngomong ini setidaknya terwujud dalam dua varian, yaitu bicara tanpa adanya tindak lanjut, atau berbicara yang baik, indah, dan luhur, namun tidak disertai oleh suri tauladan yang setara.

Ketiga, rasa antipati yang disebabkan oleh membanjirnya informasi terutama di media sosial yang semakin tidak jelas mana berita yang benar dan mana berita bohong (hoax). Apalagi berita itu dengan isu yang sama dan kita terima berulang-ulang. Berita yang selalu menjadi kontroversi, pro dan kontra. Di satu sisi seorang tokoh dianggap baik, di sisi lain dianggap buruk. Menurut pihak satu dianggap pahlawan, sedangkan pihak lain menganggap sebagai penjahat. Kita menjadi bingung untuk memberikan penilaian atau mesti berpihak ke mana. Nalar logis kita tak lagi mampu berpikir secara obyektif dan proporsional. Ujung-ujungnya, belum apa-apa kita langsung menolak apapun informasi yang datang kepada kita, walau sebenarnya hal itu benar adanya.

Ketiga kondisi riil di atas harus kita perhatikan ketika kita mewaspadai bahaya dari the power of reject di tengah hubungan antarmanusia. Agar hubungan tetap terjalin dengan baik, kita perlu menyadari pentingnya menghentikan sikap-tindak serba menyalahkan dan serba menolak. Memang, pada dasarnya menolak itu sesuatu yang tidak selalu salah. Namun, jika sikap-tindak menolak itu sudah tidak rasional dan proporsional, maka itu sudah berlebihan.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun