DOMPET
Oleh: Trimanto B. Ngaderi
Kokok ayam jantan terdengar keras sekali. Bersahut-sahutan laksana nyanyian surga. Ditimpali sayup-sayup suara qiraat Al Qur’an dari masjid besar pondok. Tiap hari aku selalu mendengarnya. Pertanda bahwa sebentar lagi adzan Subuh akan segera dikumandangkan. Aku termasuk salah satu santri yang malas shalat Subuh berjamaah. Ditambah lagi hawa dingin yang menusuk tulang, maka aku pun merapatkan selimut dan kembali tidur.
Seringkali teman sekamar membangunkanku. Aku hanya bilang ya, tapi aku tetap tak mau bangun jua. Bahkan terkadang ketua asrama pun datang membangunkanku. Aku hanya pura-pura bangun dan duduk. Setelah ketua asrama pergi, aku pun melanjutkan tidurku.
Tak biasanya, pagi ini aku terbangun lebih awal, bahkan sebelum ayam jantan berkokok. Aneh, tiada rasa malas seperti biasanya. Aku bergegas ke pancuran dan mengambil air wudlu. Walau belum adzan, aku melangkah santai menuju masjid. Niatku minimal aku bisa shalat tahajjud dua atau empat rakaat.
Sesampainya di jalan besar depan masjid, sayup-sayup mataku menangkap sesuatu di tengah jalan. Benda itu terlihat mengkilat di terpa sinar lampu neon. Rasa penasaran membuatku mendekati benda tersebut.
“Dompet...!” pekikku lirih.
Sesaat kemudian, aku menoleh ke kiri-kanan, masih sepi. Tanpa pikir panjang, aku memungut dompet itu. Dompet bagus dari kulit berwarna coklat muda. Tebal sekali. Lalu, dengan sedikit gemetar aku membuka dompet itu. Uang seratus ribuan cukup banyak, beberapa kartu nama, dua kartu ATM, dan ada foto keluarga ukuran kecil.
Aku termangu di tengah jalan. Apa yang mesti kulakukan. Apakah aku mesti mengumumkan penemuan dompet ini pada jamaah Subuh nanti. Tapi ketika membayangkan uang di dompet yang cukup banyak, aku menjadi ragu. Ragu karena aku sangat tahu bahwa jika menemukan barang, meski diumumkan atau dikembalikan kepada pemiliknya. Tapi di sisi lain, aku juga tergoda dengan uang itu.
“Sedang apa di situ Dik?” suara Mas Rohim, senior pondok mengagetkanku. Buru-buru aku memasukkan dompet itu ke kantong baju kokoku.
“Ah, enggak kok Mas, nunggu adzan saja”, jawabku sedikit terbata-bata.