[caption caption="lh3.ggpht.com/"][/caption]
Mungkin selama ini, asumsi yang beredar dan berkembang di kalangan umat Islam yaitu meyakini bahwa anjing itu najis secara absolut (mutlak) layaknya kenajisan babi, baik air liurnya, mulutnya, badannya, bulunya dan semua yang ada di tubuh anjing. Tidak ada toleransi sama sekali untuk menyentuhnya, apalagi memeliharanya. Dan mereka menganggap bahwa semua ulama sudah sepakat dengan kenajisan anjing yang masuk dalam kategori najis mughallazhah (berat). Padahal, secara faktual ulama 4 mazhab berbeda pendapat mengenai kenajisan anjing selain air liurnya, karena para ulama sepakat bahwa air liur anjing merupakan najis yang tergolong berat.
Sampai disini mungkin ada sedikit gambaran bahwa ternyata asumsi yang mengatakan bahwa anjing itu najis secara mutlak dan tidak ada khilafiyah didalamnya terbantahkan oleh aqwal para ulama yang berpendapat bahwa selain air liurnya adalah suci. Berikut penulis akan paparkan perbedaan pendapat dari para ulama 4 mazhab mengenai kenajisan anjing.
1. Mazhab al-Hanafiyah
Umumnya, para ulama dari kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa badan anjing yang masih hidup bukan merupakan najis ‘ain (dzat). Yang masuk dalam kategori najis hanyalah air liur, mulut dan kotorannya saja. Selain itu hukumnya adalah suci.
- al-Kasani (w. 587 H) dalam kitabnya Badai’ al-Shanai’ fi Tartib al-Syarai’ menjelaskan sebagai berikut :
وَمَنْ قَالَ: إنَّهُ لَيْسَ بِنَجِسِ الْعَيْنِ فَقَدْ جَعَلَهُ مِثْلَ سَائِرِ الْحَيَوَانَاتِ سِوَى الْخِنْزِيرِ وَهَذَا هُوَ الصَّحِيحُ لِمَا نَذْكُرُ
“Dan yang mengatakan bahwa (anjing) itu bukanlah najis ‘ain (dzat), maka mereka menjadikannya seperti seluruh hewan-hewan lainnya kecuali babi. Dan inilah yang shahih dari pendapat kami.” [1]
- Ibnu Abdin (w. 1252 H) dalam kitabnya Radd al-Muhtar ala al-Dur al-Mukhtar atau yang lebih dikenal dengan sebutan Hasyiyah Ibnu Abdin menjelaskan sebagai berikut :
(قَوْلُهُ لَيْسَ الْكَلْبُ بِنَجِسِ الْعَيْنِ) بَلْ نَجَاسَتُهُ بِنَجَاسَةِ لَحْمِهِ وَدَمِهِ، وَلَا يَظْهَرُ حُكْمُهَا وَهُوَ حَيٌّ مَا دَامَتْ فِي مَعْدِنِهَا كَنَجَاسَةِ بَاطِنِ الْمُصَلِّي فَهُوَ كَغَيْرِهِ مِنْ الْحَيَوَانَاتِ (قَوْلُهُ وَعَلَيْهِ الْفَتْوَى) وَهُوَ الصَّحِيحُ وَالْأَقْرَبُ إلَى الصَّوَاب
“Anjing bukanlah termasuk najis ‘ain (dzat), tetapi kenajisannya itu disebabkan kenajisan daging dan darahnya, dan hukumnya belum menjadi najis ketika dia masih hidup selama masih dalam tubuhnya. Kenajisannya sebagaimana najis yang ada dalam perut orang yang shalat. Maka hukum anjing seperti hukum hewan-hewan yang lainnya, (dan itulah fatwanya). Itulah yang shahih dan lebih dekat kepada kebenaran.” [2]
2. Mazhab al-Malikiyah
Dalam mazhab Malikiyah, para ulama umumnya juga berpendapat bahwa tubuh anjing yang masih hidup tidaklah najis, kecuali hanya air liurnya saja. Maka konsekuensi logisnya, bila air liur anjing jatuh ke dalam wadah atau bejana air, wajib dicuci 7 kali salah satunya dengan tanah. Dan cara pensucian seperti ini bersifat ta’abbudi. Jadi, apapun yang ada dan menempel di tubuh anjing adalah suci, baik itu dagingnya, kotorannya, keringatnya, bulunya dan lain sebagainya.
- Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) dalam kitabnya al-Kafi fi Fiqhi Ahl al-Madinah menjelaskan sebagai berikut :